Sudah mau Hari Raya Nyepi nih, siap-siap akan lockdown sementara. Pastikan kalian siapin makanan yang banyak ya. Sudah tahu Ngembak Geni ‘kan? Itu lho, sehari setelah Hari Raya Nyepi. Erat kaitannya dengan Ngembak Geni, tradisi Omed-omedan yang biasanya dilakukan dengan meriah ini katanya akan dilakukan secara sederhana saja. Sebagai bentuk menghormati himbauan Gubernur Bali, Bapak I Wayan Koster dalam mewanti-wanti terkena virus corona.
Omed-omedan Dilaksanakan di Tengah Kota Denpasar

Jadi, tradisi ini diadakan di tengah Kota Denpasar, tepatnya di Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan. Digelar setiap setahun sekali saat hari Ngembak Geni atau sehari setelah hari Raya Nyepi, kegiatan dimulai sekitar pukul 14.00 WITA dan berlangsung kurang lebih selama 2 jam. Prosesi ini hanya boleh diikuti kalangan muda-mudi atau yang belum menikah dengan umur minimal 13 tahun. Menurut salah seorang penglingsir dari Desa Sesetan, I Gusti Ngurah Oka Putra, omed-omedan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17 dan terus berlangsung sampai sekarang ini. Kalau menurut pewaris Puri Oka yang sering disapa Ngurah Bima ini bilang kalau omed-omedan berasal dari kata omed yang artinya tarik menarik.
Tidak Sembarangan, Persembahyangan Menjadi Hal Pertama yang Dilakukan
Sebelum ritual dimulai, seluruh peserta harus sembahyang bersama terlebih dahulu di Pura Banjar. Lewat sembahyang bersama ini, para peserta memohon kebersihan hati dan juga kelancaran acara tanpa kendala apapun.
Setelah itu, akan ditampilkan pertunjukan tari barong bangkung yang dimaksudkan untuk mengingat kembali peristiwa war-nya sepasang babi hutan di desa ini. Pernah tuh Omed-omedan ditiadakan, eh tiba-tiba muncul dua ekor babi hutan yang saling bertarung. Sampai berdarah-darah!

Mereka takut kalau babi saja bisa gitu, kenapa manusia nggak? Apalagi war-nya sampai berdarah-darah juga. ‘Kan seram! Makanya untuk menghindari hal tersebut, para muda mudi diminta untuk terus melalukan tradisi ini setiap tahunnya agar aman sentosa keadaan desanya. Selain itu, akan diawali dengan Upacara Guru Piduka, kenapa? Ya, pastinya untuk mendapat keselamatan karena akhir-akhir ini ada sakit yang berkepanjangan sampai ada yang meninggal, ya apalagi kalau bukan karena Virus Corona.
Dibentuk Dua Grup, Grup Teruna dan Teruni
Dalam tradisi ini, para muda-mudi setempat dibagi jadi dua grup yaitu grup pria (teruna) dan grup wanita (teruni). Kedua grup ini harus berbaris berhadap-hadapan yang mana bakal dipandu sama para polisi adat (pecalang), terus secara bergantian dipilih satu orang dari masing-masing grup untuk diangkat dan diarak kayak ogoh-ogoh. Ya nggaklah, diarak ke depan barisan maksudnya.
Kalau kedua muda-mudi ini nggak bisa juga untuk dilepasin, panitia akan siram mereka menggunakan air hingga basah kuyup. Karena kebanyakan orang melihat acara ini cuma untuk cium-ciuman, akhirnya tradisi ini jadi salah kaprah dan dianggap hanya untuk main-main saja.

Sebenernya nggak gitu lho artinya. Ngurah Bima sudah bilang kalau tradisi ini bukan semata-mata sebagai ajang pelukan atau ciuman massal seperti informasi yang beredar. Omed-omedan ‘kan artinya memang tarik menarik, terus sudah ada juga pakem yang jelas mengenai tradisi ini. Mereka yang melakukan tradisi ini adalah anggota STT (Sekaa Teruna Teruni) yang diangkat sama temen-temennya secara spontanitas tanpa ngurangin tradisi, adat, budaya dan pakem yang ada.
Nah, jadi gitu lho. Tradisi ini bukan acara ciuman massal terus sangat sakral kalau ditiadakan. Walaupun nggak semeriah sebelumnya, acara ini akan tetep seru kok untuk dilakukan. Dengar-dengar sih hanya tiga pasangan saja dan untuk kalian yang bukan asli warga Desa Sesetan diharapkan tetap tenang serta menghargainya dengan tidak datang. “Yaahh kok gitu sih?” Ya mau gimana lagi, buat kebaikan bersama.