Masih ada beberapa tradisi kuno di Bali yang dikaitkan dengan kejayaan Kerajaan Bali pada masa lalu. Kenapa ya sampai sekarang masih tetap dilestarikan? Ini yang bikin Bali itu beda dan karena setianya masyarakat Bali dulu untuk tetap melestarikan kebudayaan yang telah menjadi kebiasaan sebagai wujud bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemakmuran yang telah diberikan, hingga masyarakat Bali dalam keadaan berkucukupan.
Ini seperti konsep yadnya pada dasarnya, tetapi dalam penyebutan yang berbeda. Pernah melihat tradisi Usaba Sumbu di Karangasem? Kalau belum cobain deh datang ke Desa Bungaya, Karangasem. Dari Denpasar sih cuman sekitar 2 jam aja untuk sampai ke desa ini.
Tradisi berlangsung hingga seminggu dan berdasarkan dari Bali Express, tradisi ini sudah ada sejak jaman Pemerintahan Raja Gelgel Dalem Waturenggong, sekitar abad ke-10 lah awal dimulainya tradisi ini. Tradisi ini sebenarnya merupakan simbol dari rasa syukur atas kemakmuran serta simbol ketangguhan kerajaan Dalem Waturenggong ketika itu.
Usaba Sumbu ceriminan kemakmuran daerah agraris

Tradisi Sumbu ini memang sebuah simbol dari kemakmuran daerah agraris, di mana warga desa mengucapkan syukur atas kemakmuran desanya melalui tradisini. Menariknya nih, kalau tradisi ini setiap malam hari dan melibatkan 125 teruni dan 445 teruna.
Kenapa malam-malam nih? Menurut kepercayaannya waktu sore menjelang malam adalah waktu yang sangat baik untuk menghadap para Dewa. Soalnya tidak mungkin sore-sore, karena para petani kan baru selesai bekerja dari ladang, makanya dilakukan jam 6 sore keatas.
Ada sesuatu bagian yang paling ditunggu-tunggu nih, yaitu bagi daging babi yang super banyak. Sejumlah laki – laki terlihat berdesakan membawa sokasi (besek) yang berisi nasi putih. Para pangempon dan perangkat desa itu mengerubungi seorang kasinoman yang menerima satu persatu besek yang berisi nasi. Nasi tersebut dikumpulkan dalam satu wadah besar sebagai bentuk tradisi gotong royong.
Memotong Babi Guling, kesinoman tidak boleh ngawur

Nantinya nasi tersebut akan dibagikan kembali kepada seluruh perangkat desa dan masyarakat. Selain itu daging Babi Gulingnya juga dibagikan sama rata. Sebelum membagi babi guling tersebut, ada ritual khusus nih untuk para Kesinoman, seperti puasa dan tidak boleh makan sembarangan.
Udah kayak diet aja nih, tetapi ini sebuah persyaratan yang tidak boleh dilanggar sama sekali dan memang sulit banget nih untuk menjadi seorang Kesinoman, karena posisinya memang sakral dan kamu harus memiliki kesiapan mental untuk menjadi seorang Kesinoman.
Kalau saat memotong babi tidak terbelah dalam sekali tebasan, maka proses Usaba Sumbu dikatakan gagal dan Kesinoman dalam keadaan yang berbahaya. Kenapa berbahaya? Soalnya menurut kepercayaan, seorang Kesioman yang gagal dalam menjalankan tugasnya, sudah pasti akan terjadi mala petaka hingga ajal menjemput sang Kesinoman tersebut.
Ini menyambung yang diatas mengapa posisi seorang Kesinoman sangatlah sakral dan bukan orang sembarangan yang bisa menjadi Kesinoman saat tradisi ini berlangsung. Seorang kesinoman harus berserah diri dan berdoa agar semuanya dilancarkan.
Kalau tidak sakral dalam tradisi, bukan Bali namanya. Hidup di Bali emang sakral dan inti dari penjelasan soal Usaba Sumbu adalah memang sebuah wujud syukur atas kemakmuran yang telah diberikan, serta bagian kebersamaan saling berbagi secara adil kepada sesama merupakan bagian dari tradisi kehidupan sehari-hari di Bali agar kamu lebih bahagaia.