Setiap daerah yang ada di Indonesia pasti memiliki tradisinya masing-masing, sama nih kayak Bali, Hari Minggu lalu baru saja dilaksanakan Tradisi Ngerebong di Desa Kesiman, Denpasar. Karena Bali pun juga punya tradisi unik, kita kepoin empat diantaranya ya. Check it out!
Perang Ketupat di Desa Adat Kapal, Badung
Kita mulai dengan Perang Ketupat atau Aci Tabuh Rah Pengangon di Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung. Sesuai namanya, tradisi ini melibatkan ribuan ketupat dan jaje bantal. Seluruh warga desa akan dibagi menjadi dua kelompok, biar bisa saling berhadap-hadapan gitu lho. Sebelum dimulai, warga akan bersembahyang dulu dan pemangku akan memercikkan air suci. Kalau sudah, baru deh siap-siap ngelempar senjata masing-masing. Tradisi ini hanya berlangsung 15 menit, tapi keseruan dan rasa suka citanya itu lho bikin seluruh warga senang bukan main.
Tradisi ini diperkirakan dilaksanakan pada tahun 1339, saat itu lagi musim paceklik. Situasi ini membuat Ki Kebo Waruga atau yang lebih dikenal dengan Kebo Iwa terenyuh. Sedih gitu melihat kemalangan yang tengah dihadapai warga Kapal. Saat itu ia ditugaskan untuk merenovasi Pura Purusada oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Di tengah tugasnya, Kebo Iwa menyempatkan diri untuk memohon kepada Ida Bhatara yang berstana di Candi Rara Pura Purusada. Dari sini, dimintalah warga desa untuk melakukan Aci Tabuh Rah Pengangon yang dipersembahkan kepada Dewa Siwa.
Tradisi Mepantigan di Batubulan, Gianyar
Kalau yang ini lebih seru lagi, Mepantigan yang berarti saling membanting. Tradisi ini diciptakan oleh I Putu Witsen Widjaya yang merupakan seorang atlet taekwondo. Mengandalkan kuncian dan bantingan, Mepantigan ini tidak semata-mata untuk kekerasan tapi menumbuhkan rasa hormat antar sesama dan sarat akan makna nilai tradisi masyarakat Bali seperti rasa syukur dan solidaritas.
Mepantigan ini juga terinspirasi oleh pencak silat Bali. Saking kuatnya, Mepantigan ini pernah ada ajang kompetisi Internasional yang diikuti oleh lima negara yaitu Jepang, Denmark, Belanda, Swedia dan Korea Selatan pada tahun 2010. Arena pertandingannya memang di sawah, jadi banting-bantingan di lumpur. Sebelum dan sesudah pertandingan, melakukan persembahyangan ke hadapan Dewi Sri atau dewi kesuburan. Untuk pakaiannya, para pemain akan menggunakan kain hitam putih atau manca warna. Udeng jangan dilupakan untuk laki-laki. Walaupun dominan diikuti laki-laki, perempuan juga bisa ikut andil kok. Oh ya, ini ‘kan berlangsung selama tiga menit satu rondenya, dan setiap pertandingan ada dua ronde, untuk timernya sendiri menggunakan bambu yang berisi air, kalau airnya sudah habis baru deh selesai pertandingannya.
Tradisi Unik di Karangasem, Megibung dengan Seluruh Masyarakat Desa
Makan memang paling asyik beramai-ramai ‘kan, ada nih tradisi bernama Megibung yang berasal dari Karangasem. Biasanya diadakan kalau lagi ada acara kayak otonan, tiga bulanan dan lainnya. Maksimal 8 orang, nanti akan duduk melingkar dengan kelompok masing-masing atau duduk bersila saling berhadap-hadapan. Yang disajikan di atas daun pisang pun tak lain dan tak bukan yakni nasi, jukut urab, sate, balung dan makanan tradisional lainnya. Oh ya, btw nasi putih yang ada dalam wadah itu dinamakan gibungan, sedangkan lauk pauk yang mau dimakan dinamakan karangan.
Megibung pertama kali dikenalkan oleh Raja Karangasem, I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1692. Waktu itu raja dan prajuritnya sedang ekspedisi menaklukan raja-raja yang ada di tanah Lombok. Sudah pasti ‘kan capek ya, jadi raja berinisiatif untuk istirahat dan ngajak makan bersama. Cuman ya makannya duduk melingkar gitu, bahkan raja disebut-sebut ikut juga makan sama prajuritnya. Sepanjang megibung, kalian nggak boleh naruh remahan atau sisa nasi di tangan ke gibungannya, jadi harus habis sekali suap gitu. Terus, kalau makanannya sudah habis, nggak boleh pergi duluan, tunggu semuanya selesai makan baru meninggalkan tempat. “Bisa nambah ‘kan, Mz?” Bisa, tinggal minta saja sama orang yang ditunjuk untuk mengambil dan naruh makanannya.
Tradisi Ngusaba Bukakak di Buleleng
Terakhir, ada tradisi Ngusaba Bukakak di Desa Sangsit Dangin Yeh, Sawan, Buleleng. Dilaksanakan saat Hari Purnama Sasih Kadasa, pelaksanaannya ditujukan kepada Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Sambu. Ini juga menjadi bentuk ucapan terima kasih kepada Dewi Sri atas kesuburan tanah dan hasil pertanian yang melimpah. Karena menghabiskan biaya yang nggak sedikit, tradisi ini dilakukan setiap dua tahun sekali.
Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak pemerintahan Raja Jaya Pangus. Sang raja adalah penganut sekte Dewa Wisnu, sedangkan masyarakatnya adalah penganut Siwa Sambu. Raja berinisiatif untuk menyatukan kemanunggalan sekte Dewa Wisnu dan Dewa Siwa menggunakan konsep Dwi Tunggal. Jadi, simbol pemujaannya dengan Nandi Garuda (dalam Bahasa Bali Kuno bernama Lembu Gagak atau Bukakak). Lembu itu melambangkan Dewa Siwa sedangkan burung garuda melambangkan Dewa Wisnu. Nah, nanti ‘kan ada babi yang dipanggang setengah matang, ini yang melambangkan Dewa Sambu.
Panjang banget sejarahnya ya, dari tahun masehi nggak tuh. Tentunya miliki tujuan yang baik, sudah seharusnya kita melestarikan dan menjalankan tradisi turun temurun dengan tulus ikhlas. Ini pastinya dilakukan sebagai bentuk terima kasih atas rezeki yang sudah diberikan. Semoga gumi Bali tetap rahayu, rahayu, dan rahayu.