Semerbak wangi dupa mengudara menembus tapal batas, selayang pandang deretan canang kuyup berjejer. Malam mulai beranjak tua, tak ayal dingin menyeruak masuk menembus rongga. Walau badai menghadang, dengan bertelanjang dada Masbrooo sudah bulat tekad untuk melukat. Tirta Empul malam ini hening sekali, beda dengan saat bulan purnama yang antreannya mengular bagai antrean BLSM.
Melukat atau bahasa lebih nasionalisnya pembersihan diri dengan air yang dianggap suci, tentunya bukan barang baru buat orang Bali. Meskipun beberapa tempat melukat baru sempat “ngehits”, Tirta Empul ngga pernah kehilangan pesonanya. Pesona yang udah bersinar semenjak abad ke-10. Menurut hitungan sempoa, kurang lebih Pura Tirta Empul sudah berumur 1.100 tahunan.
Mencoba Intelek. Secara epistemologis (ini berat nih!) Tirta Empul bermakna air yang menyembur keluar dari tanah. Banyak mitos yang berkembang tentang keberadaan Pura Tirta Empul. Namun, apapun itu, satu hal yang pasti semenjak Abad ke-10 sampai saat ini kebeningan air Tirta Empul tiada surut untuk membasuh Jasmani dan Rohani. Dan walaupun areal Pura, tapi pengunjung Tirta Empul ngga cuma umat Hindu aja. Semua bisa merasakan melukat di dalamnya, asal mengikuti prosedur, seperti menggunakan selendang dan kamen (kain lembaran).
Satu hal lagi yang pasti Brooo, di areal parker atas Pura Tirta Empul berjejer dagang sate languan yang menggugah selera, terlebih rasa lapar pasti menyerang setelah melukat. Sayangnya, sate tersebut hanya dapat dinikmati siang hari. Alhasil Masbroo harus pulang dengan perut keroncongan. Namun semuanya terobati dengan hati dan pikiran yang lebih tenang setelah melukat.