Sering melakukan persembahyangan pada Hari Raya Galungan, sudah tahu belum tentang makna hari suci tersebut? Ada cerita rakyat dibaliknya, ini berhubungan dengan daerah Tampaksiring yang ada di Gianyar lho! Mau tahu ceritanya seperti apa? Let’s check it out!
Cerita Rakyat Tentang Hari Raya Galungan
Untuk masyarakat Bali pasti sudah nggak asing sih, buat kalian yang nggak tahu disimak baik-baik ya, kalau sudah tahu ya saudah anggap saja mengingat kembali. Cerita ini berawal dari sosok Mayadenawa yang dikenal sebagai raja yang sombong dan kejam terhadap rakyatnya di Kerajaan Bedahulu. Karena dirasa kelakuannya makin parah, sampai-sampai nggak ngebolehin rakyatnya menyembah Hyang Widhi Wasa melainkan dirinya seorang, para Bhatara, Dewata serta Dewa Indra berniat untuk membunuh Mayadenawa. Pastinya aksinya ini sudah direstui oleh Hyang Pramesti Guru atau Dewa Siwa.
Tahu dirinya jadi target pembunuhan, Maya Denawa lari ke hutan dengan memiringkan kakinya. Tujuannya untuk mengelabui yang mengejarnya, biar dikira bukan tapak kakinya gitu lho. Sesekali juga bakal berubah wujud dan bikin air mata beracun biar pengejarnya yang kehausan dan minum itu langsung tewas. Nggak heran sih Mayadenawa ‘kan sakti mantraguna. Untungnya air mata beracun ini dibuat penangkalnya yang dinamakan Tirta Empul atau air mata suci oleh Dewa Indra, alhasil semua bisa diselamatkan.
Walaupun sudah melakukan berbagai hal, tetap saja diketahui kedoknya sama Dewa Indra. Terjadilah pertempuran sengit antara keduanya, karena sama-sama sakti, sudah pasti duelnya nggak main-main. Adu kekuatan gitu lho. Hingga akhirnya, Mayadenawa yang sekarat ngeluarin banyak darah. Patihnya, Kala Wong juga dibunuh. Di detik-detik terakhirnya, Mayadenawa mengutuk aliran darahnya ini berdampak buruk seribu tahun lamanya. Oh ya, btw aliran darahnya ini dinamakan Tukad Petanu. Dari sinilah, Hari Raya Galungan hadir sebagai perayaan kemenangan Dharma (kekuatan baik) melawan Adharma (kekuatan buruk).
Hubungannya dengan Daerah Tampaksiring
Ingat ‘kan kalau Mayadenawa miringin kakinya biar tapak kakinya nggak ditahuin sama Bhatara, Dewata dan Dewa Indra? Daerah dimana tapak kakinya yang miring ini pun berubah menjadi Tampaksiring (Tampakmiring). Tirta Empul pun juga berada di daerah ini, kalau ada waktu senggang, jangan lewati kesempatan untuk sembahyang dan melukad disana ya.
Ada banyak tempat wisata yang bisa kalian kunjungi di Tampaksiring seperti Istana Kepresidenan, Candi Tebing Gunung Kawi, dan Subak Pulagan. Tinggal pastiin saja mau pergi kemana dan dengan siapa. Sekian deh guys, bye!
Selamat Hari Kesaktian Pancasila! Hari dimana diperingatinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Erat kaitannya dengan sejarah, di Bali pun ada tempat yang menyimpan memori masa lampau dan kini dijadikan tempat wisata. Mz rekomendasikan kalian untuk berkunjung ke empat tourism place di bawah ini, kepoin terus ya!
Monumen Bajra Sandhi, Tempat Wisata di Denpasar
Dibangun pada tahun 1987, Monumen Bajra Sandhi ini baru diresmikan Ibu Megawati Soekarnoputi pada tahun 2003. Monumennya ini letaknya di tengah lapangan, untuk luas lapangannya sendiri itu mencapai 14 hektar. Makanya, saking luas lapangannya, banyak banget orang-orang yang berkunjung untuk sekedar hangout, jogging sampai kegiatan lain.
Museumnya ini terdiri dari tiga bagian utama yakni nistaning utama mandala (lantai dasar gedung: ruang informasi dan administrasi: perpustakaan; pameran; rapat; souvenir; toilet), madianing utama mandala (terdapat puluhan diorama tentang perjuangan rakyat Bali) dan utamaning utama mandala (ruang peninjauan).
The Sukarno Center, Mengenal Bapak Proklamasi Lebih Dekat
DipeloporiIbu Sukmawati Soekarnoputri dan Senator Arya Wedakarna, The Sukarno Center ini dibangun pada tahun 2008. Disini kalian bisa mengenal sedikit tentang beliau, ada banyak foto yang dipajang di dinding dan barang-barang yang pernah digunakan serta berkaitan dengan Bung Karno. Kalau mau melihat lebih jauh kehidupan beliau bersama keluarganya, bisa banget kunjungi Istana Kepresidenan di Tampaksiring, Gianyar yang lokasinya berdekatan dengan Pura Tirta Empul.
Kertha Gosa, Peninggalan Kerajaan Klungkung
Bangunan yang satu ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Klungkung. Kertha Gosa dulu dijadikan tempat untuk membicarakan mengenai keadilan, kemakmuran dan situasi keamanan wilayah kerajaan Bali. Dibangun pada masa pemerintahan raja pertama, Ida I Dewa Agung Jambe, makanya nggak heran aura masa lampau masih melekat di tempat ini.
Disini kalian akan menemukan banyak banget peninggalan-peninggalan zaman kerajaan kayak meja, kursi dan benda-benda lainnya. Oh ya, disini juga ada museum yang dimana ada diorama yang menggambarkan perjuangan rakyat Bali melawan penjajah. Terus ada lukisan-lukisan juga yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya.
Tempat Wisata yang Menyimpan Benda-benda Purbakala, Museum Arkeologi Gedong Arca di Gianyar
Buat kalian yang ingin mengenal zaman prasejarah, harus banget kesini. Ada ribuan peninggalan purbakala yang bisa kalian temui kayak arca, prasasti, sarkofagus dan beragam kapak zaman prasejarah. Digagas oleh Prof. Dr. R. P. Soejono dan Drs. Soekarto K. Atmojo, museum ini punya tiga bagian yakni jaba sisi atau area luar yang berfungsi sebagai tempat pertemuan, jaba tengah yang terdapat lima gedung bangunan yang berfungsi sebagai pameran dan jeroanatau halaman utama yang terdapat benda-benda purbakala yang terletak di delapan balai pelindung.
Buat pecinta tempat klasik, benda-benda bersejarah dan masa lampau, wajib kunjungi keempat tourism place di atas ya. Happy weekend!
Jangan salah, di Bali ada juga lho Istana Kepresidenan bahkan diusulkan langsung oleh Presiden RI pertama, Bapak Ir. Soekarno. Terletak di Tampaksiring, istana ini ada kaitannya sama Pura Tirta Empul. Kira-kira ada hubungan apa ya antara tempat peristirahatan presiden sama pura yang satu ini?
Mengintip Indahnya Istana Kepresidenan yang Diusulkan Langsung oleh Presiden Soekarno
Istana ini dibangun berdasarkan keinginannya Bapak Soekarno. Waktu itu beliau pengen ada tempat beristirahat untuk dirinya dan keluarga di Bali. Belum lagi kalau ada tamu-tamu negara yang berkunjung, udah pasti merluin tempat yang nyaman dikunjungi. Akhirnya, pilihannya jatuh kepada Tampaksiring karena dianggap sebagai daerah yang sejuk. Terus jauh dari pusat kota juga ‘kan, ini makin bikin siapapun yang datang bakal merasa nyaman kayak lagi di rumah.
Pembangunannya ada dua tahap nih, yang pertama dilakukan pada tahun 1957 dengan membangun Wisma Merdeka dan Wisma Yudisthira. Terus di tahun 1963 dirampungkan bangunan Wisma Negara, Wisma Bima dan Gedung Serba Guna alias gedung konferensi. Saat pembangunan gedung konferensi, sekalian juga dibangun Terowongan Cinta untuk masyarakat yang mau pergi ke Pura Tirta Empul. Jadi, ‘kan ada yang namanya Jembatan Persahabatan, jembatan ini menghubungkan bangunan Wisma Merdeka dan Wisma Negara. Dibawahnya dibikinin terowongan sebagai akses masyarakat ke pura tadi, terus kenapa namanya Terowongan Cinta? Katanya banyak yang beranggapan persahabatan bakal berubah jadi cinta. Kayak disangkutpautin gitu lho dari nama jembatan dan terowongannya.
Karena basicnya emang diperuntukkan untuk keluarga dan tamu negara, mungkin nggak banyak informasi yang didapat mengenai beliau. Jadi tempat selanjutnya yang bisa kalian kunjungi adalah The Sukarno Center. Museum ini didirikan pada tahun 2008 dan dipelopori oleh Ibu Sukmawati Soekarnoputri dan Senator Arya Wedakarna. Disini kalian bakal nemuin banyak banget foto, kutipan dan benda-benda peninggalan Bapak Soekarno. Bener-bener setiap dinding dan ruangannya dipenuhi sama sosok beliau. Kalau kalian kesini jangan asal pegang ya, mari jaga kebersihan dan kenyamanan yang lain.
Kaitannya Istana Kepresidenan dengan Pura Tirta Empul di Tampaksiring
“Bentar Mz, berarti kaitannya itu karena sama-sama terletak di Tampaksiring ya?” Yup, exactly! Letak dari dua tempat ini juga dekat banget guys, berkat adanya Terowongan Cinta kalian bisa pergi ke Pura Tirta Empul dengan nyaman dan aman. Jadi pas ada waktu kesini bisa berkunjung ke istana buat jalan-jalan serta ke Pura Tirta Empul untuk sembahyang dan melukad. Kalian juga bisa ngasik makan ikan, tinggal beli makanan ikannya dekat kolam terus kasik makan ikan sepuasnya deh. Mau foto-foto juga boleh-boleh aja, tapi kalau ada tulisan warning untuk nggak motret, tetep diikuti juga ya.
Mz bahas sedikit tentang legendanya ya. Tampaksiring ini terdiri dari dua kata, Tapak (yang berarti telapak) dan Siring (yang artinya miring). Kenapa namanya bisa kayak gitu? Ini karena seorang raja yang memerintah di Kerajaan Bedahulu bernama Maya Denawa yang kabur dan berusaha bikin tapak kakinya miring buat mengelabui bala tentaranya Dewa Indra. Jadi, kisah ini bermula dari Maya Denawa yang merupakan seorang putra dari Raja Jayapangus (Raja Bali dari Dinasti Warmadewa) dan Dewi Danu (penguasa Danau Batur) yang bergelar Ratu Ayu Pingit.
Maya Denawa ini saat menjabat jadi raja bukannya baik gitu ya, bijaksana dan mengayomi rakyat malah sombong dan merasa hebat sendiri. Dia beranggapan kalau dirinya paling kuat, bahkan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekalipun. Rakyatnya dilarang untuk mengadakan upacara dan menyembah Hyang Widhi, sampai akhirnya hal ini ditauin sama para bhatara dan dewata di Tolangkir. Berbekal izin Hyang Pramesti Guru atau Dewa Siwa, para bhatara, dewata dan Dewa Indra berniat ngebunuh Maya Denawa.
Walaupun sakti mantraguna, bisa berubah wujud jadi apa aja, ini nggak bikin Maya Denawa lolos dari kejaran. Bahkan, Dewa Indra selalu tau Maya Denawa yang mana dan lagi bersembunyi dimana. Buat mengelabui, Maya Denawa lari ke hutan sambil miringin kakinya (dari sinilah asal nama Tampaksiring), maksud hati biar nggak ketebak siapa yang punya tapak kakinya. Eh ternyata gagal, dia tetep dikejar-kejar bahkan berhasil ditangkap juga.
Maya Denawa sempet tuh bikin air mata beracun biar para pengejarnya yang minum airnya mati keracunan. Untungnya Dewa Indra langsung nyiptain penawar racunnya yang dinamakan Tirta Empul alias mata air suci. Sampai akhirnya aksi kejar-kejaran ini berakhir dengan terbunuhnya Maya Dewana dan patihnya, Kala Wong. Darahnya kan ngucur keluar tuh dan mengalir sampai jadi aliran air, terus dari sinilah dinamakan Tukad (sungai) Petanu. Selagi sekarat, Maya Denawa mengutuk aliran air yang berasal dari darahnya ini bakal berdampak buruk seribu tahun lamanya. Nggak boleh dialirin ke sawah, nanti yang ada malah bikin padinya berdarah dari batangnya dan ngeluarin bau nggak sedap. Peristiwa terbunuhnya Maya Denawa ini menjadi peringatan dan dinamakan Hari Raya Galungan dan Kuningan, hari dimana dharma (kekuatan baik) menang melawan adharma (kekuatan buruk).
Nah, sekarang udah tau ‘kan kaitannya antara Istana Kepresidenan dan Pura Tirta Empul? Kalau keadaannya udah kondusif, jangan ragu buat berkunjung ke dua tempat wisata ini ya. Inget juga untuk selalu jaga kebersihan, kenyamanan dan nggak mengganggu pengunjung lain. See you!
Lahir pada tahun 1881, Nyoman Rai dari kecilnya emang nggak bisa lepas dari pekerjaan rumah dan pura. Belum lagi, bapak sama kakeknya emang jero mangku ‘kan, makanya beliau selalu berkutat sama hal-hal keagamaan. Anak kedua dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran ini dari kecilnya juga diajarin tentang filosofi sama nilai-nilai yang ada dalam lontar (Pas banget saat itu Buleleng jadi pusatnya lontar sama edukasi di Bali). Terus kisah-kisah Jawa Kuno kayak Mahabharata dan Ramayana itu udah makanan sehari-harinya Nyoman Rai. Nggak pernah tuh beliau masuk sekolah formal, jadi emang belajarnya dari rumah aja. Selain sibuk di pura, Srimben juga sering menenun bareng kerabat lain, jadi sekalian ngasah kemampuan dan bersosialisasi gitu.
Nama panggilannya saat remaja dulu itu Srimbenguys, Sri ini artinya kebahagiaan sedangkan Mben adalah rimbun. Jadi, kalau digabungin nih berarti limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan. Karena emang tugasnya yang nggak bisa lepas dari pura, setiap hari beliau bakal ngebersihin pura yang ada di dekat rumahnya, Pura Bale Agung. Kalau ada upacara, udah pasti beliau ditunjuk dan dipercayakan untuk jadi penari Rejang. Katanya di masa itu, nggak semua perempuan bisa sembarang tampil di depan umum, makanya emang kebanyakan tuh laki-laki. Jadi udah bisa dipastiin kalau Nyoman Rai Srimben ini punya partisipasi yang luar biasa kuat di pura.
Ada cerita menarik nih, saat itu kan lagi Hari Raya Galungan, tampillah beliau di pura sebagai penari Rejang. Kejadian ini nggak sengaja diliat langsung sama seorang guru asal Jawa bernama Raden Soekemi Sosrodiharjdo. Pas ngeliat Nyoman Rai lagi nari ini tiba-tiba ada bisikan nih, “coba lempar bunga, yang kena bunganya bakal jadi jodohmu,” gitu kira-kira bisikannya. Beneran beliau ngelempar bunga (kayak bunga-bunga canang yang jatuh di tanah itu lho), terus kenalah si Srimben. Ya, auto nolehlah dia dilemparin bunga kayak gitu. Dari sana dua insan ini berkenalan, yang nggak bakal disangka-sangka akan memadu kasih dan berjuang buat cinta mereka.
Emang bener ya perumpamaan “dari mata turun ke hati”, sekarang mereka udah saling jatuh hati nih. Diem-diem bakal saling ngelirik, cari-cari kesempatan biar bisa liat lebih deket. Pokoknya lagi kesemsem-kesemsemnya gitu satu sama lain. Karena udah nggak bisa dibendung lagi, Raden Soekemi berniat menikahi Srimben. Datanglah beliau ke Bale Agung (tempat tinggalnya keluarga Pasek, Srimben) dan menemui orang tua kekasihnya. Sayang punya sayang, niat baiknya ini ditolak mentah-mentah. Alasannya karena mereka punya banyak banget perbedaan dari agama, etnis, suku sampai latar belakang keluarga juga. Srimben kan pingitan Bale Agung, orang tuanya takut anaknya bakal hilang, terus yang bakal nerusin bantu-bantu di pura siapa coba?
Ya, namanya udah saling cinta gitu ya. Pergilah mereka berdua dan berniat kawin lari. Raden Soekemi pun minta bantuan sama temennya yang berprofesi polisi buat ngelindungin mereka berdua. Sambil diem di rumah temennya ini, diutuslah polisi setempat buat datang ke rumah Nyoman Rai. Mau bilangin kalau anaknya udah nikah dan nggak bisa dijemput paksa karena sedang di bawah perlindungan kepala polisi. Btw, pernikahan ini berlangsung pada tanggal 15 Juni 1897.
Orang tuanya yang marah ngebawa masalah ini ke pengadilan. Ditanyain tuh, Srimben dipaksa nggak nikah sama Raden Soekemi, beliau jawab nggak karena emang dasarnya mereka berdua saling mencintai. Sama-sama jelas, hubungan mereka ini pun diakui sudah terikat pernikahan tapi Srimben harus rela kena denda pengadilan. Mati-matian deh tuh beliau berusaha ngebayar uang dendanya.
Hubungan Srimben dengan keluarganya pun kayak perang dingin. Nggak ada yang mau negur lagi. Keluarganya ini kayak kecewa sama kelakuannya Srimben yang dianggap udah mencoreng nama keluarga dan memalukan, apalagi emang notabenenya keluarga Pasek ini berpengaruh besar sama pembaharuan adat istiadat dan restorasi struktur pura yang ada di Bali. Pelan tapi pasti, perang dingin ini mulai meleleh berkat kehadiran Raden Soekarmini yang lahir pada tanggal 29 Maret 1898 yang merupakan anak pertama dari pasangan berbeda latar belakang ini.
Di tahun yang sama saat putrinya lahir, Raden Soekemi yang berprofesi sebagai guru pun pindah mengajar ke Surabaya (katanya ada alasan lain untuk kepindahannya ini : Soekemi merasa nggak disukai warga Bali dan hubungan keluarga Srimben yang nggak membaik), hal ini udah pasti mau nggak mau harus diikuti sang istri, Srimben. Terus nggak lama setelahnya, lahir sang putra pada tanggal 6 Juni 1901 (saat Gunung Kelud meletus) dan diberi nama Kusno Sosrodiharjdo. Lahir jam setengah 6 pagi alias pas matahari mau terbit, inilah yang ngebuat sang anak kedua diberi julukan Putra Sang Fajar.
Hidup pas-pasan ngebuat mereka harus tinggal di rumah yang berdekatan sama pasar dan sungai. Mungkin karena lingkungan dan air yang kurang bersih ngebuat putranya jadi sering sakit-sakitan, entah malaria, tifus sampai disentri (infeksi usus yang nyebabin diare disertai darah dan lendir). Alhasil, nama Kusno pun berubah jadi Karno. Namanya ini diadaptasi dari Karna, tokoh penting yang ada di Mahabharata.
Dan ya, dari sinilah kita tau kalau Bapak Soekarno punya masa kecil yang cukup sulit. Ibunya, Nyoman Rai nggak bisa beli beras karena harganya terlalu mahal buat beliau. Setiap hari beliau bakal beli padi yang ditumbuk sendiri jadi beras, terus sisa uangnya cukup buat beli sayur. Soekarno kecil selalu ngebantuin ibunya, mungkin karena sering ngabisin waktu inilah yang ngebikin hubungan ibu dan anak ini semakin kuat.
Nyoman Rai sering banget nyeritain kisah Ramayana dan Mahabharata ke anak-anaknya. Ini ditambah juga pengetahuannya akan filosofi dan nilai-nilai lontar. Apalagi bapaknya juga guru ‘kan, makin nambahlah pengetahuan putra putri Nyoman Rai ini. Hingga akhirnya pada tahun 1958, Nyoman Rai meninggal dunia menyusul sang suami yang emang lebih dulu berpulang pada tahun 1945. Lima tahun kemudian, Bapak Soekarno yang udah jadi presiden pergi ke Bale Agung dan menemui keluarga sang Ibu. Disana beliau minta izin untuk ngasik nama Brahmana berupa Ida Ayu ke nama Ibunya. Alasannya karena sang Ibu dianggap berjasa dan udah mertaruhin nyawa untuk ngelahirin beliau, dan usut punya usut, Nyoman Rai sendiri emang punya garis keturunan Brahmana yakni dari Kerajaan Buleleng, dari sinilah namanya berubah menjadi Ida Ayu Nyoman Rai.
Istana yang Diperuntukkan Untuk Presiden Pertama Indonesia di Tampaksiring, Gianyar
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1957 hingga 1960, dibangunlah Istana Kepresidenan (arsiteknya ialah Prof. Dr. R. M. Soedarsono) yang bertempat di Tampaksiring, Gianyar. Tampaksiring dipilih karena memang sejuk dan sangat asri. Letaknya kan emang di atas perbukitan tuh, nggak heran kalau disana emang selalu dingin, apalagi pas malam hari. Istana ini dibuat atas permintaan Bapak Soekarno yang pengen punya tempat dimana keluarga dan dirinya beristirahat. Beliau juga pengen tamu-tamu negara yang datang berkunjung ke Bali juga bisa istirahat disana. Salah satu tamu negara yang pernah berkunjung adalah Rama 9, Bhumibol Adulyadej bersama permaisurinya, Ratu Sirikit pada tahun 1957. Beliau adalah Raja asal Thailand yang masa jabatannya paling lama.
Ada kamar yang udah disiapin untuk tempat semedinya Bung Karno nih, soalnya ditauin beliau suka sembahyang. Hingga akhirnya pada tanggal 20 Januari 1993, hotel ini terbakar, cuman yang menariknya adalah kamar 327 yang awalnya emang diperuntukkan untuk beliau sama sekali nggak tersentuh api. Ya, emang sih kaca jendelanya pecah, tapi isi dalam kamarnya tetep utuh. Selain kamar 327, ada juga kamar 2401 (cottage yang letaknya di sebelah selatan dan dibangun pada tahun 1972) yang diperuntukkan untuk Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul. Jadi, disini kalian bakal nemuin lukisannya beliau, isi kamar yang serba hijau dan juga persembahan lainnya. Dua kamar ini dianggap suci, makanya nggak boleh sembarangan masuk tanpa ijin. Kalau kalian masuk kesini pasti dilarang ngambil foto, nggak boleh masuk makek alas kaki dan perempuan yang lagi haid nggak boleh masuk.
Fyuuh panjang banget ya guys. Yang awalnya dari orang tua Bung Karno sampek merembet ke peninggalan-peninggalannya. Kalau misalnya Ida Ayu Nyoman Rai nggak kekeh nikah sama Raden Soekemi, mungkin kita nggak akan pernah kenal sosok Bapak Soekarno sampai hari ini. Emang ya setiap peristiwa selalu ada hikmahnya, semoga apa yang ditinggalkan beliau ini bisa menjadi pembelajaran dan berdampak baik buat kita yang sekarang ini jadi penerusnya. Oh ya satu lagi, Jas Merah!