Sebagai warga Bali, pasti udah tahu kenal ‘kan dengan Desa Trunyan? Desa yang sangat unik karena pemakamannya beda dari yang lain. Pesona unik nan indah ini tentunya berasa nyeremin buat yang takut mayat dan tengkorak. Tapi, kalau punya kesempatan, yakin nggak mau mampir?

Asal Usul Desa Trunyan
Terletak di Kintamani, Bangli, Desa Trunyan ini udah terkenal di seantero Bali bahkan yang datang berkunjung pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Terkenalnya karena prosesi pemakamannya yang cuman didiemin gitu aja. Nama Trunyan sendiri berasal dari pohon Taru Menyan. Sebelum Mz jelasin tentang pemakamannya, alangkah lebih baik kalau kalian tahu dulu tentang dongeng berdirinya desa tersebut. Tetap scroll down yak!
Dikisahkan, hidup seorang Raja Solo yang bertahta di Keraton Surakarta. Beliau punya empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka hidup damai tuh disana, sampai suatu ketika keempat anak raja ini mencium bau yang wangi banget, entah darimana. Karena saking wanginya, bikin mereka penasaran, dan akhirnya mereka memutuskan untuk mencari tahu dimana sumber wanginya. Pertama-tama mereka minta izin dulu sama ayahnya. “Terus dikasi, Mz?” Ya, dikasilah. Setelah dapat izin, mereka pergilah ke arah timur.
Kalau kalian mikir cuman sehari atau dua hari nemu sumbernya, nggak! Butuh berbulan-bulan brooo! Harus ngelewatin hutan, nyebrang sungai, sampai Selat Bali pun dilewati. Ini semua buat apa? Nyari tahu sumber wangi yang bikin kepo setengah mati. Sampailah mereka di kaki Gunung Batur sebelah selatan, disana si bungsu tiba-tiba berhenti. Ditahuin tuh sama kakak sulungnya, terus ditanyain kenapa berhenti dan doi bilang pengen stay disana, betah gitu katanya. Ya, dikasi-dikasi aja sama ketiga kakaknya. Menetaplah si bungsu disana beberapa waktu dan akhirnya pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur yang nantinya menjadi tempat berdirinya Pura Batur. Doi juga diberi gelar Ratu Ayu Mas Maketeg.

Sisa kakak-kakaknya aja nih sekarang yang ngelanjutin perjalanan. Mereka jalan terus gitu ‘kan, eh tiba-tiba anak ketiga nih teriak-teriak kegirangan saat mendengar burung-burung yang berkicau merdu. Sebagai anak tertua, kesal nih kakak sulungnya, disuruh dia buat menetap tapi nggak mau. Katanya pengen ngelanjutin perjalanan bareng. Kareng udah nggak tahan, udah murka parah, ditendang adiknya sampai jatuh. Tapi posisi jatuhnya itu bersila dan bikin sang adik berubah menjadi patung. Patungnya ini pun diberi nama Bhatara Dewa dan bergelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero, patungnya pun sekarang berada di Meru Tumpang Pitu, Pura Dalem Pingit, Desa Kedisan.
Masih dilanjutin tuh perjalannya sama anak pertama dan kedua. Lagi dan lagi perjalannya ini terhenti karena mereka nggak sengaja ketemu dua gadis cantik. Ya, namanya juga cowok ‘kan, ngelihat cewek cantik jadi kesemsem, mana ada dua lagi. Disapalah kedua gadis ini sama anak kedua, mungkin ditanya-tanya juga kali ya kayak asal mana dan lagi apa, yang pasti sih bukan nanya username IG atau nomor WA. Sang anak sulung kesal juga nih ngeliat kelakukan adiknya, dimarahin tuh dia dan disuruh stay. Sama kayak anak ketiga, si anak kedua nggak mau dan pengen ikut kakaknya. Karena udah terlanjur marah, ditendang lagi adiknya dan bikin dia jatuh telungkup alias tengkurap. Karena udah ditinggal kakaknya, sang anak kedua menetap disana dan menjadi Kepala Desa Abang Dukuh. Dukuhnya itu berarti telungkup, soalnya ‘kan kepala desanya jatuh dengan posisi kayak gitu.

Tinggal sendirian, sang anak sulung melanjutkan perjalanannya. Dari ketiga adiknya, cuman dia aja nih yang berhasil nyari sumber baunya. Ternyata bau wangi itu datang dari sebuah pohon yang bernama Taru Menyan. Pas dia sampai, ada seorang gadis cantik lagi duduk di bawah pohon. Cantik secantik-cantiknya. Sang anak sulung kepincutlah dan ngajak nikah. “Wih, langsung ngajak nikah, Mz?” Ngapain ngajak kenalan kalau bisa ngajak nikah?
Ajakannya itu pun disetujui kalau syaratnya terpenuhi. Kakak sang gadis ingin si anak sulung jadi pemimpin desa disana. Ya, mau-mauan aja dia demi bisa menikahi si gadis tercantik yang ia temui. Pesta pernikahannya pun digelar mewah dan indah. Sang anak sulung yang udah diangkat menjadi pemimpin Desa Trunyan pun diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat dan istrinya diberi gelar Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar (kelak menjadi dewi penguasa danau batur yang sering disebut Dewi Danu Batur). Hidup damailah mereka bersama rakyat-rakyatnya, benar-benar tenang nggak ada gangguan apapun. Tapi, sang Ratu Sakti kepikiran, nanti kalau bau wanginya ini ngundang orang luar terus bikin kekacauan gimana? Makanya disuruh rakyat-rakyatnya buat naruh jenazah-jenazah warga desa di bawah pohon Taru Menyan biar berbau busuk. Tapi ya, ternyata nggak ngaruh sama sekali, tetap wangi walaupun ada mayat yang membusuk.

Keunikannya yang Indah Tapi Nyeremin

Sekarang baru bahas tentang pemakamannya. Ini uniknya nggak cuman pas dimakamin, tapi dari persiapan hingga proses pembusukan mayatnya. Jadi, para wanita itu dilarang buat ikut nyiapin atau bantu-bantu untuk makamin mayatnya. Dipercaya kalau ini dilanggar, nanti bakal ada bencana alam kayak gempa dan gunung meletus. Bahkan datang berkunjung aja pun nggak boleh.
Punya tiga tempat pemakaman, nggak semua mayat akan mengalami prosesi ‘diletakkan’ gitu aja. Yang pertama itu ada Sema Muda, kuburan untuk muda mudi yang meninggal dan belum menikah. Anak-anak yang giginya belum tanggal pun juga ikut dimakamin disini. Terus ada yang namanya Sema Bantas, kuburan yang diperuntukkan bagi mereka yang meninggal karena salah pati (suicide dan lainnya) dan ulah pati (kecelakaan). Istilahnya yang punya luka belum sembuh dan meninggal bakal dimakamin disini. Oh ya, btw kedua Sema ini pemakamannya dengan cara dikubur di dalam tanah. Terakhir, Sema Wayah bagi mereka yang sudah menikah dan meninggalnya wajar. Beda dari dua yang tadi, mayatnya akan ditutup ancak saji (pagar bambu) dan dibiarin terbuka. Proses ini dinamakan Mepasah dan ancak sajinya ini dibuat untuk menghindarkan mayat dari hewan buas. Sema inilah yang paling sering dikunjungi dan terkenal.

Asal kalian tahu ya, mayat-mayat di Sema Wayah itu hancur bukan karena lalat, belatung dan cacing, tapi sinar matahari. Kalau kalian mampir, coba lihat deh mayatnya, pasti nggak bakal nemuin, bahkan nyamuk pun nggak ada katanya. Untuk bau busuk dari mayatnya masih tetap kecium sih, cuman bau wangi dari pohon Taru Menyan itu lebih dominan. Jadi nggak usah takut akan mencium bau nggak sedap yang menyengat.
Kalau seandainya ada yang baru meninggal dan nggak ada lahan, mayat yang udah dimakamin dari lama bakal dipindahin di sekitar sana. Makanya, nggak heran banyak tulang belulang yang berserakan di seluruh areal kuburan. Katanya sebelum ada upacara pembersihan, dilarang mungut-mungutin tulang-tulangnya, cuman tengkorak yang masih utuh aja bakal dipindahin ke tempat kayak altar batu dan disusun rapi disana.

Nah, dari sini kalian udah tahu tentang dongeng dan jenis makam-makamnya. Gimana nih, apa kalian tertarik buat berkunjung? Kalau iya, kalian harus naik boat dulu buat datang ke Desa Trunyan. Kira-kira ngabisin waktu 30-45 menit dan biaya ratusan ribu. Datengnya rame-rame aja biar bisa patungan hehe. See you!