Patung Bayi yang duduk bersila di simpang tiga Jalan Raya Sakah, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini sudah ada sejak 20-an tahun yang lalu.
Dulu, waktu Mz kecil pas lewat sini Mz dikasi tau kalau malam-malam saat purnama setelah jam 11 malam, patung ini nangis gitu. Nangisnya kalem, cuma meteskan air mata aja kok, nggak sampai gerong-gerong drama gitu. Kalau nyampe kayak gitu bakal heboh sih.
Terbesit dipikiran untuk mencari tau sejarah dan alasan patung ini menangis. Cuma ya katanya nggak ada yang boleh mengungkap bagaimana sejarah didirikannya patung yang dikenal sangat angker ini. Tapi setelah menentukan hari baik dan persiapan yang matang, akhirnya salah satu keturunan dari pendonatur dan pencetus ide pembuatan patung ini, Jero Mangku Ida Bagus Balik, berani mengungkapnya ke publik.
Patung Bayi Dibuat Agar Bisa Menjadi Kebanggaan Warga Gianyar

Patung yang sebagai simbolis Sang Hyang Siwa Budha itu ternyata disebut Sang Hyang Brahma Lelare. Ide untuk membangun patung itu berawal dari niat mantan Bupati Gianyar Cokorda Darana pada tahun 1989.
Pas itu, mantan Bupati Gianyar ini berencana membuat patung di seluruh simpang tiga dan simpang empat di Gianyar maka dari itu beliau mengajak sejumlah praktisi sejarah dan prajuru Desa Batuan untuk mengadakan sebuah meeting.
Singkat cerita, meeting pertama tidak menemukan hasil yang pas. Kebanyakan pada vote untuk membuat patung wayang dan Kapten I Wayan Dipta. Menurut penjelasan dari Gus Balik, kalau patung wayang, dan patung Kapten I Wayan Dipta, tidak akan menjadi kebanggaan masyarakat Bali khususnya di Gianyar.
Dan hasil berbuah di meeting yang ke-2. Diputuskanlah untuk membangun patung Sang Hyang Brahma Lelare itu. Brahma Lelare adalah patung yang berwujud bayi. Wujud bayi dipilih adalah sebagai simbol kelahiran manusia di dunia.
Pemilihan tempat di Jalan Raya Sakah juga memiliki alasan yang nggak sembarangan. Menurut penjelasan Gus Balik, simbol Siwa Budha itu dibangun di sana karena tanah yang terdapat di simpang tiga Jalan Raya Sakah itu, secara niskala disebut Blah –Tanah-Sake-Ah, artinya di tengah belahan tanah, terdapat sebuah sake (adegan) dan ah (tidak ada batas antara atas dan bawah).

Intinya filosofinya itu pertemuan antara sakti Siwa dan sakti Budha yang disebut Sang Hyang Widhi. Dan menurut Gus Balik kalau berbicara mengenai filosofi yang lebih mendalam, kata dia sangatlah rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama.