Siapa disini yang sangat suka nonton film? Apalagi untuk orang yang punya prinsip Netflix and chills, dijamin nggak akan absen untuk nonton film atau drakor kesayangan. Tapi, sebagai warga Bali, pernah kepo nggak sih sama kehidupan Bali tempoe doeloe? Zaman yang sudah lampau sekali, dimana teknologi dan keadaan sekitar masih asri dan tradisional, beda kayak sekarang yang sudah serba canggih dan apa-apa sudah serba mudah. Nah, film lawas ini sangat bisa kalian tonton untuk tahu kehidupan nyama Bali tempoe doeloe. Yuk, kita kepoin bareng!
Dance and Trance, Kerasukan Sambil Menari
Sesuai artinya, dance and trance ini adalah keadaan dimana sang penari akan kerasukan dan menari layaknya orang yang lagi sadar. Film dokumenter ini memperlihatkan prosesi upacara hingga penari yang kerasukan roh-roh nenek moyang. Prosesi ini didokumentasikan oleh pasangan Gregory Bateson dan Margaret Mead pada tahun 1936.
Terus ada juga yang namanya Tari Sanghyang yang berhasil didokumentasikan. Untuk siapa yang ngerekam dan tahun berapa, Mz kurang tahu, cuma kalau dilihat dari footage-nya kayaknya seumuran sama video di atasnya. Btw, Tari Sanghyang ini adalah tarian sakral yang nggak sembarangan untuk dilakukan. Punya beragam jenis, penarinya itu harus belum menek kelih (masuk masa pubertas), adapun tujuan dari tari ini adalah untuk menolak bala atau wabah penyakit.
“Charlie Chaplin in Bali”, Ketika Sang Komedian Jatuh Cinta dengan Keindahan Pulau Dewata
Untuk kalian yang suka film komedi, pasti nggak asing sama sosok yang satu ini. Iya, Charlie Chaplin. Selain sebagai komedian, Chaplin juga merupakan seorang sutradara dan aktor. Sudah sangat banyak film yang dibuat seperti The Kid (1921), The Gold Rush (1925), Modern Times (1936) dan masih banyak lagi.
Pada tahun 1932, ternyata Chaplin dan kakaknya, Sidney Chaplin pernah datang ke Bali. Perjalanannya ini akhirnya didokumentasi dan jadi film dokumenter berjudul Chaplin in Bali. Saat itu Chaplin pergi terlebih dahulu ke Singaraja, setelah itu menginap di Bali Hotel yang terletak di Denpasar. Dari awal datang sampai kepulangannya ke Surabaya, Chaplin rasanya seperti jatuh cinta sama keindahan Bali. Dari alamnya, keseniannya, tariannya, pokoknya semuanya. Berpuluh-puluh tahun kemudian, film ini diputar saat Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 2018. Chaplin disebut-sebut sangat menginspirasi karena sudah berkunjung ke daerah yang belum terkenal destinasinya, apalagi saat itu keadaan lagi krisis ekonomi alias krisis Malaise.
Kisah Cinta ala Bali Tempoe Doeloe, “Legong: Dance of The Virgins“
Yang terakhir lumayan agak nyesek. Film yang satu ini menceritakan kisah cinta masyarakat Bali tempoe doeloe, tentang gadis Bali bernama Putu yang sedang dimabuk cinta. Kebetulan ia adalah seorang penari legong di desanya. Putu tinggal bersama ayahnya, Bagus Gusti dan adik tirinya, Nyoman Saplak. Karena ia adalah penari, sudah pasti diiringi dengan musik gamelan ‘kan. Nah, ada seorang pemuda yang sangat jago megambel bernama Nyong. Putu sangat suka dengan Nyong, suka curi-curi pandang gitu. Nyong yang memang orangnya baik dan ramah, ya membalasnya dengan tersenyum saja.
Sang ayah yang tahu putrinya jatuh cinta, bilang kalau sudah saatnya Putu memilih calon suaminya dan menikah. Cuma sayangnya, rasa cintanya Putu nggak cukup bikin Nyong suka dirinya karena pemuda yang sudah dia suka dari lama ini ternyata jatuh cinta sama adiknya sendiri. Jadi, ini kisah tentang kehidupan Bali kuno serta cinta segitiga antara pemuda dan pemudinya. ‘Kan ini tentang kehidupan Bali saat itu, jadi kalian akan menemukan scene dimana ada upacara keagamaan seperti ngaben dan kegiatan di pura, tarian adat dan surat cinta Nyong untuk Saplak yang berbekal dari daun lontar (daun pohon ntal) dan pengrupak (pisau untuk menulis). Tulisannya bukan aksara latin ya, tapi aksara Bali!
Film ini dibuat pada tahun 1933, antara Bulan Mei sampai Agustus di Desa Ubud, Gianyar. Para pemeran dalam film merupakan penduduk asli setempat, makanya feel kehidupan Bali zaman dulu sangat terasa di film ini. Dirilis pada tahun 1935, produsernya pun berasal dari luar negeri, mereka merupakan pasangan Amerika-Prancis yang bernama Constance Bennet dan Henry de La Falaise.
Setelah ini langsung ditonton ya, keren lho bisa nonton sesuatu dari masa lalu. Berasa diberikan warisan dan diperlihatkan bagaimana orang-orang kita berinteraksi, bekerja untuk menyambung hidup sampai upacara keagamaan yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan kedamaian gumi Bali. Pokoknya selamat menonton, semeton!