Emang nggak bisa bohong sih kalau Pura Tanah Lot cantik banget, makanya nggak heran kalau pura yang satu ini jadi destinasi pariwisata kebanggaan warga Tabanan. Nah, sebelum kalian kesana nih atau udah pernah kesana tapi nggak tau sejarahnya, abis ini harus tau yak. Nyook kita cari tau bareng, “nyoook!”.
Terletak di Beraban-Kediri, Tabanan
Pura di tengah pantai ini letaknya di Beraban-Kediri, Tabanan. Itulah kenapa dinamain Tanah Lot, soalnya artinya emang tanah (batu karang besar sih sebenernya) di tengah lautan gitu lho. Puranya nih sebelas duabelas sama Pura Uluwatu, cuman kalau ke Pura Tanah Lot emang langsung kena air lautnya jadi harus hati-hati kalau nggak mau auto basah semua. Sama liat-liat situasi juga yak, pas lagi jalan-jalan kesini kalau airnya lagi pasang mending liat dari jauh aja deh kecuali emang udah surut airnya baru dah tuh boleh naik ke puranya.
Puranya ini dibangun sama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau yang lebih dikenal dengan nama Dang Hyang NIrartha, yang artinya umur dari pura ini sendiri udah lebih dari ratusan tahun. Dibuatnya juga diperuntukkan untuk tempat memuja dewa-dewa penjaga laut. Makanya sering diadain odalan setiap 6 bulan sekali alias 210 hari sekali pas Hari Suci Buda Wage atau Buda Cemeng Langkir yang jatuhnya nih deket dengan perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Sejarah Terbentuknya Pura Tanah Lot
Antara abad ke-15 dan 16, ada seorang brahmana yang berasal dari Pulau Jawa bernama Dang Hyang Nirarta (dikenal juga dengan nama Dang Hyang Dwijendra). Beliau ini terkenal sakti dan dihormati di daerahnya, sampek akhirnya beliau kayak ngeliat ada sinar suci gitu di arah laut selatan Bali. Karena misinya juga mau nyebarin ajaran Agama Hindu, beliau pergilah ke arah laut selatan tadi dan pas udah sampek di Bali disambut baik sama Raja Dalem Waturenggong (raja yang berkuasa di Bali saat itu).
Abis itu beliau nyari kan lokasi sinar sucinya itu dimana, dan sampailah Dang Hyang Nirartha di pantai yang ada di Desa Beraban Tabanan. Eh ternyata eh ternyata, kedatangan beliau ini nggak disukain sama pemimpin desa disana yang bernama Bendesa Beraban Sakti. Kenapa begitu? Kan Dang Hyang Nirartha ini berniat nyebarin ajaran agama Hindu, nah si Bendesa ini punya kepercayaan aliran monotheisme. Ditambah lagi sama para pengikutnya yang mulai meghilang satu persatu gara-gara mulai ngikutin kepercayaanya beliau. Yaudah si Bendesa yang naik pitam ini berniat mau ngusir beliau secepat mungkin.
Padahah udah makek segala macam cara nih, tetep aja Dang Hyang Nirartha masih bertahan di desa tersebut. Beliau yang saat itu lagi meditasi di atas karang yang masih di daratan itu, nah kepindahlah batu karang itu ke tengah laut dengan kekuatan spiritualnya. Akhirnya baru deh si Bendesa sadar kalau apa yang dia lakuin itu salah, dan mengakui kalau Dang Hyang Nirartha ini emang sakti parah. Dan si Bendesa menjadi pengikutnya Dang Hyang Nirartha dengan memeluk Agama Hindu beserta para penduduk setempat, yaudah happy ending deh. Oh iya, kalau kalian ke Pura Tanah Lot pernah ngeliat ke lubang-lubang karang deket puranya nggak? Disana ada ular panjang yang warnanya hitam putih, terus katanya nih ularnya lebih berbisa daripada ular cobra soalnya bisa-nya lebih mematikan 3 kali lipat. Menurut legendanya, ular-ular berbisa ini berasal dari selendang Dang Hyang Nirartha yang emang diperuntukkan buat ngejagain dan ngelindungin Pura Tanah Lot. Kalau menurut kepercayaan warga sana, pas kalian berhasil megang ularnya nanti keinginan kalian terkabul. Yaudah sekarang tancap gas kesana, terus elus-elus ularnya sebanyak mungkin yak, tenang ada orang yang ngejagain kok jadi udah pasti kalian bakal aman dan selamat sentosa.
Biar nggak taunya cuman tempatnya aja yang bagus, tapi sejarahnya juga biar makin nambah nih pengetahuan. Inget ya guys, kalau kesini harus hati-hati sama sabi kali ya nengokin ularnya sebentar, ya buat say hi aja kan nggak apa-apa. Bye-bye~
“Kira-kira ada nggak ya ngaben-ngaben unik gitu? Yang anti mainstream gitulah.” Ada! Beneran! Bahkan sudah dilakukan sangat lama dan ini terjadi di beberapa daerah yang ada di Bali.
Mesbes Bangke alias Mencabik-cabik Mayat
Mesbes bangke (mencabik-cabik mayat) ini dilakuin di Banjar Buruan, Tampaksiring, Gianyar. Bayangin saja saat mau membawa mayatnya ke setra (kuburan) direbutin dan orang-orang berusaha untuk cabik-cabik mayatnya. Seram sih.
Nggak semua mayat melewati prosesi ini. Biasanya untuk ngaben yang personal saja alias bukan massal, dan persetujuan keluarga juga harus dipastikan dulu. Untuk orang-orang yang mau cabik-cabik mayatnyaharus dari Banjar Buruan. Kalau ketahuan orang luar ikutan? Bakalan dihajar massa!
Saat mayatnya dicabik-cabik, nggak ada yang namanya acara mayat jatuh. Yang ngangkat mayatnya harus kuat-kuat. Kalaupun mayatnya jatuh, harus mengadakan pecaruan (upacara penebusan) dan warga-warganya akan dikenai sanksi. Sejauh ini Mz nggak pernah dengar ada beritanya.
Punya Setra Tapi Pantang Ngaben di Setra
“Lah, punya setra tapi ngabennya nggak di setra gitu?” Iya, diadakannya di Pantai Kedungu. Desa adat yang masih melakukan tradisi ini adalah Desa Pakraman Kedungu, Kediri, Tabanan.
Jadi kenapa diadakannya di pantai (sebutan lain: Segara) bukan di setra gara-gara letak setra-nya itu deket Pura Kahyangan Tiga dan dianggap suci. Masa mau bakar mayat dekat pura? ‘Kan agak gimana gitu rasanya.
Kalau mayatnya langsung diaben, ya langsung dibakar di pantai. Untuk yang sudah dikubur, nggak ada yang namanya istilah Ngangkid (mayat yang sudah dikubur dan digali kembali kemudian diaben). Mereka percaya kalau melakukan hal itu akan mendatangkan penyakit dan menyerang desa pakraman. Jadi digunakan daksina sebagai simbolnya. Ngaben massal-nya biasanya dilakukansetiap 5 tahun sekali.
Pakei Bade Tertinggi Terus Diarak ke Tengah Laut
Kalau yang ini diadakan diNusa Penida. Tepatnya di Desa Batumulapan, Nusa Penida, Klungkung. Jadi bade-nya (wadah mayat) diarak dan dibawa ke Pantai Batununggul, biasanya ada iring-iringan gamelan baleganjur juga. Tinggi bade-nya juga nggak main-main, sampek 10 meter! Namanya juga di pantai, kadang airnya pasang surut dan upacara ini bisa nemakan waktu hingga 3 jam.
Karena warna air dan pemandangannya yang bagus, para photographer akan datang dan berlomba-lomba untuk foto momen luar biasa tersebut. Karena unik dan antusiasme warganya, lama-lama semakin menarik pendatang baru untuk melihatnya.
Ngaben Unik Sambil Nyebrangin Sungai
Iya! Ngabennya memang harus nyebrangin sungai dulu. Tradisi ini dilakukan di Banjar Adat Tegal Ambengan, Desa Sudimara, Tabanan. Butuh perjuangan keras untuk nyebrang sungai yang lebarnya bisa sampai 5 meter lebih. Harus rela basah kuyup kalau begini.
“Kok nyebrang sungai?” Soalnya setra-nya ada di seberang sungai, bahkan setranya diapit dua sungai sekaligus. Tradisi ini juga sudah dilakukan secara turun temurun. Kalau air sungai-nya lagi pasang, orang suci setempat akan matur piuning (upacara memohon kelancaran dan keselamatan) dan dipercaya airnya akan surut dengan sendirinya.
Saat musim hujan ‘kan airnya akan pasang, warga akan menggunakan rakit buatan untuk bantu menyebrangkan bade-nya bahkan bisa pakai ban juga.
Sekarang sudah tahu ‘kan ada ngaben-ngaben unik di Bali. Kalau ditanya, “ngaben upacaranya cuma gitu aja ya?” Harusnya sudah bisa jawab nih.
Buat semeton Bali pasti sudah nggak asing lagi sama berita yang satu ini. Sampai-sampai media asing juga heran, tapi masa sih Bali kebal virus corona? Kira-kira apa ya yang bikin Bali jadi kelihatan kayak gitu?
Katanya, bunyi kulkul kemarin itu menandakan akan ada kejadian buruk. Ya, pasti paniklah semeton Bali, memang siapa sih yang mau ketimpa musibah? Demi nangkal hal-hal negatif sekaligus nunas ica (mohon berkat), pemerintah Klungkung nyuruh masang daun pandan yang digabungin sama 3 bawang, 3 cabe, satu buah uang kepeng (pis bolong) abis itu diikat deh pakek Benang Tridatu. Oh ya, sama Tapak Dara (dibuat dari kapur sirih) juga. Setelah itu ditaruh di depan rumah.
Ngaturin Nasi Wong-wongan
Nggak hanya daun pandan, pemerintah juga menghimbau untuk menghaturkan nasi wong-wongan di depan rumah. Warnanya juga ngikutin yang sudah ditentukan, kalau dari selebarannya sih harus bentuk orang dan berwarna warni.
Jadi, kepalanya warna putih, lengan kanannya warna merah terus yang kiri warna kuning, badannya manca warna dan kakinya warna hitam. Manca warna itu gabungan dari keempat warna tadi (putih, merah, kuning dan hitam). Dibilang manca warna karena ‘kan empat warna tadi digabungkan untuk mendapatkan warna yang kelima.
Nah, kalau itu ‘kan yang dihaturkan di depan rumah, kalau di Merajan dapat menghaturkan banten pejati dan nyuh gadang (kelapa hijau) atau gading (kuning). Bentuknya sengaja dibuat mirip kayak ‘orang’ dan sebagai simbol manusia terhindar dari bahaya.
Jadi, kalau ada upacara yang menggunakan nasi wong-wongan ini namanya nangluk mrana.Tujuan upacaranya untuk menangkal gangguan-gangguan seperti penyakit pada tanaman, hewan dan pastinya manusia. Kalau yang sekarang harusnya tahu lah ya, apalagi kalau bukan menangkal pandemi covid-19.
Saran ‘Nunas Ica’ dari Bapak Gubernur
Melihat hal ini, Gubernur Koster punya cara lain yang dirasa bisa membantu mengamankan Bali yakni dengan nyējēr daksina.
“Hah? Daksina apa ya?”
“Nyējēr apa sih?”
Daksina itu semacam banten yang ditanding (dibuat) dan bentuknya seperti silinder. Wadahnya itu namanya wakul daksina yang terbuat dari selepan (daun kelapa tua), makanya warnanya hijau tua pekat-pekat gimana gitu.
Kalau nyējēr artinya meletakkan sesuatu dan didiamkan dalam waktu yang sangat lama. Jadi nyejer daksina itu, ya naruh daksina di rong tiga (kemulan) setiap hari. Jadi nggak boleh diturunkan dalam waktu yang lama.
“Tapi gimana kalau-“ Nggak ada tapi-tapi!
Daksina itu diibaratkan sebagai kursi atau tempat duduknya Ida Bhatara. Kalau rong tiga-nya? Dianalogikan sebagai bangunannya.
“Emang Tuhan butuh kursi?”
Ya, ini ‘kan cuman ibaratnya. Rong tiga biasanya ada di bangunan (lagi dihuni) yang ada di Bali, coba deh bayangin kalau tamu mau dateng sudah pasti dipersilahkan duduk ‘kan, terus mau duduk dimana coba kalau nggak ada tempat duduknya? Jadi, daksina itu memang harus nyējēr setiap hari.
Sembahyang Bersama Sebagai Penangkal Virus Corona
Ada yang bilang kekuatan doa bersama itu akan lebih manjur. Kayaknya bener sih, apalagi doanya yang baik-baik. Sebelum situasi pandemi Covid-19 separah sekarang, masyarakat Hindu yang ada di Bali sudah melakukanpersembahyangan bersama. Selain menghaturkan tiga hal yang sudah Mz bahas tadi, persembahyangan bersama pun juga turut dilakukan. Hal ini tentunya bertujuan untuk memohon keselamatan.
Cuma kalau sekarang, boleh-boleh saja kok sembahyang bersama tapi dibatasi jumlah orang yang masuk ke pura. Misalnya 20 sampai 25 orang dan harus melakukan social distancing juga. Sembahyang bersama di rumah pun juga bisa dilakukan.
Sekian dari Mz ya. Semoga ada jawaban dari pertanyaan yang lagi viral terkait virus corona ini. Jangan lupa sehat!
Oke, kali ini Mz akan menjelaskan tentang Perang Puputan lagi. Ada yang tahu nggak? Jadi selain Perang Puputan dari Kerajaan Klungkung yang sangat melegenda, sekarang kita akan mengintip sejarah Perang Puputan Badung tahun 1906 yang nggak kalah fenomenalnya. Mz jelasin secara singkat saja ya!
Diawali dengan Berdirinya Kerajaan Badung
Diawali dengan berkuasanya Kerajaan Majapahit di Samprangan (Gianyar)pada tahun 1343. Ini dibawah pimpinannya Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan dan punya seorang putra bernama I Dewa Anom Pemayun. Tanpa alasan yang jelas, digantilah namanya menjadi Sira Arya Benculuk Tegeh Kori. Katanya mereka juga keturunan Kerajaan Gelgel (ada setelah Majapahit), makanya di namanya ada kata Dalem.
Menurut cerita rakyat, Sira Arya Benculuk Tegeh Kori ini melakukan perjalanan panjang ke Pura Ulun Danu Batur. Disana ia memohon kepada Ida Betari Ulun Danu Batur diberikan berkat agar suatu saat nanti bisa menjadi seseorang yang berwibawa dan dihargai oleh rakyatnya. Ketika sudah dikabulkan, ia diminta untuk pergi ke arah barat daya (Gumi Badeng) tepatnya di Tonjaya. Wilayah tersebut sudah dihuni oleh empat bersaudara yang bernama Ki Bendesa, Ki Pasek Kabayan, Ki Ngukuhin dan Ki Tangkas. Setelah itu, sesuai inisiatif empat bersaudara ini akhirnya dirembugin barenglah dan memutuskan bahwa Sira Arya Benculuk Tegeh Kori ini sebagai penguasa daerah tersebut.
Dengan bantuan para warga, dibangunlah sebuah istana untuk Sira Arya Benculuk Tegeh Kori yang dinamakan Puri Benculuk dan ditetapkan nama wilayahnya itu Badung (diambil dari kata Badeng). Akhirnya ia mendatangkan penguasa Bali, yang lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri, semacam ngelapor kalau ia sudah berhasil jadi penguasa Badung pertama. Ia diberi gelar Dalem Benculuk Tegeh Kori oleh ayahnya. Dibawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, ia membangun Puri Ksatriya dan Puri Tegal Agung. Diperkirakan masa pemerintahan Tegeh Kori ini sampai ke keturunannya dimulai dari tahun 1360 hingga 1750.
Padaakhir abad ke-18, kekuasaan Puri Ksatriya jatuh ke tangan Kyai Ngurah Made karena kondisi Puri yang sudah rusak berat akibat perang perebutan kekuasaan. Jadi dibangun lagi puri baru yang terletak di Tetaman Den-Pasar (Den-Pasar artinya Utara Pasar) dan pada tahun 1788, Puri Agung Denpasar secara resmi digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Badung. Dari sinilah Kerajaan Badung mulai diakui keberadaannya (tahun 1788 hingga 1950) dan dibawah kekuasaan Kyai Ngurah Made atau I Gusti Ngurah Made Pemecutan.
Tapi ada juga nih sumber yang menyatakan bahwa tahun 1750 (tahun terakhir Pemerintahan Tegeh Kori) itu ada perang saudara atau dengan nama lain Uwug Keraton yang mengakibatkan Badung dan seluruh isinya diambil alih oleh Dinasti Jambe dan diturunkan ke Dinasti Pemecutan.
Jadi gini, penguasa Badung dari Dinasti Jambe waktu itu namanya Kyai Anglurah Aji Jambe Ksatriya. Terus ia bisa dikalahkan sama Kyai Agung Ngurah Rai dari Puri Kaleran Kawan (dari Dinasti Pemecutan). ‘Kan sudah berhasil merebut kekuasaan Badung, Kyai Agung Ngurah Rai memberikan kekuasaannya ini ke kakaknya yang bernama Kyai Agung Made Ngurah dan digelari Gusti Ngurah Made Pemecutan. Sungguh adik yang baik.
Awal Mula Perselisihan Kerajaan Badung dan Belanda
Jadi ini semua berawal dari tahun 1904, tepatnya pada tanggal 27 Mei. Ada salah satu kapal yang dimiliki oleh Kwee Tek Tjiang alias pedagang Tionghoa asal Banjarmasin. Nama kapalnya ‘Sri Komala’ dan berbendera Belanda. Eh tiba-tiba kapalnya kecelakaan, dengan panik para penumpang Sri Komala menyelamatkan barang-barang yang ada di kapal. Ya, seperti peti kayu, seng sama koper kulit. Nah, ketika semuanya sudah diturunkan, nahkoda juga sudah minta bantuan untuk jagain barang-barang ke syahbandar Sanur. Jadi anggapannya sudah aman ya.
Terus ada nih seorang warga Cina yang tinggal di Sanur nyaranin untuk melaporkan hal ini dan minta bantuan untuk ngamanin barang-barang tersebut. Dilaporinnya ke siapa? Iyak! Ke Raja Badung. Terus datang ‘kan mereka bertiga nih (Kwee Tek Tjiang, nahkoda yang ditemenin sama Sik Bo) bilang kalau mereka mau nitip barang-barangnya sebentar seperti gula pasir, minyak tanah dan terasi. Untuk memastikan, utusan Raja Badung datang ke tepi pantai dan ternyata hal tersebut benar. Setelah itu ada tambahan roti kering sama sedikit uang képéng. Diingat ya, ada sebelas orang pekerja yang membantu proses pengamanan barang-barang ini.
Dua hari berikutnya, utusan Raja Badung balik lagi untuk ngecek perahu yang terdampar. Nah, disini nih kelicikan Kwee Tek Tjiang dimulai. Ia bilang ke utusan Raja kalau uangnya hilang sebanyak 3700 ringgit uang perak dan 2300 uang képéng. Terus bagian paling menyebalkannya adalah dia nuduh rakyat Bali yang nyuri, padahal ‘kan itu bohong!
Perang Puputan Jadi Final Opsi Membela Kerajaan
Berita ini sampai ke pihak Kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Yohannes Benedictus van Heutsz yang waktu itu sebagai Jenderal di Batavia sangat berambisi untuk menaklukan seluruh Hindia Belanda. Residen J. Eschbach datang ke Badung dan menemui Raja I Gusti Ngurah Made Agung terus ketika dia mau balik, diberikanlah surat yang sebenarnya berisi ultimatum alias ancaman untuk bayar ganti rugi dan paling lambat dibayarkan pada tanggal 5 Januari 1905.
Sampai pada hari terakhir untuk bayar ganti rugi, Raja Badung tetap nggak mau bayar dan membalas surat itu pada tanggal 10 Februari 1905. Raja Badung menegaskan bahwa Kerajaan Badung sekali lagi nggak mau bayar ganti rugi dan meminta Belanda berhenti untuk memblokade perairan Badung yang secara nggak langsung membuat ekonomi tersendat serta rakyat yang sengsara akibat nggak bisa melaut. Jadi, seharusnya bukan Kerajaan Badung yang bayar ganti rugi, tapi Belanda yang harus bayar sebesar 1500 ringgit atau kira-kira 3750 gulden.
Belanda nggak mau lah dan tetep ngelakuin blokade perairan selama 2 bulan lamanya. Ngelihat hal ini, rakyat, pedagang Tionghoa dan Bugis yang tinggal di Badung rame-rame ngedatengin Raja Badung dan bilang mereka bisa ngumpulin uang dan bayar ganti rugi. Jadi mikirnya nggak bisa gini terus, mending bayar ganti rugi terus Belanda stop blokade daripada mereka sama sekali nggak bisa ngapain-ngapain yang bikin mereka rugi besar. Raja Badung ngerti kok sama pendapat rakyatnya, cuman ya beliau tetep kekeh nggak mau bayar uang ganti rugi. Wong mereka nggak salah!
Setelah melewati proses yang sangat panjang, pada tanggal 15 September 1906 ribuan pasukan Badung menyerang bivak pasukan Hindia Belanda di pabean Sanur dan mengepung mereka. Jadi bisa dibilang ini adalah pertempuran pertama yang dilakukan Kerajaan Badung terhadap Belanda.
Belanda nyerang pasukan Badung dengan menembakkan wilayah sekitar sampai tanggal 16 September 1906. Di tanggal yang sama, panglima Belanda melakukan patrol di sekitar desa Sesetan dan Panjer. Tanggal 16 Desember 1906 ini benar-benar membuat Belanda kewalahan dengan penyerangan pasukan Badung. Akhirnya tanggal 17 Desember 1906, mereka memutuskan untuk diam di benteng yang ada di Sanur untuk menyusun taktik baru dalam menyerang Kerajaan Badung.
Tanggal 19 Desember 1906, Belanda menyerbu Kota Denpasar. Pasukan bergerak ke Utara dengan tujuan pertamanya yaitu Desa Kesiman. Ketika sampai di Desa Tukad Ayung, Belanda diserang menggunakan meriam sederhana oleh pasukan Badung. Karena terlalu sederhana, ya itu nggak bikin kerugian apa-apa bagi pasukan Hindia Belanda.
Sampai puncaknya, tanggal 20 September 1906 pasukan Badung menyerang habis-habisan Belanda sebisa mereka. Semua pasukan Badung termasuk raja tewas di medan perang. Puri-puri rusak berat dan wilayah Badung seluruhnya jatuh ke tangan Belanda. Mayat-mayat jatuh saling menimpa dengan luka yang nggak bisa diutarain lewat kata-kata lagi. Pakaian putih mereka juga sudah basah dengan darah. Yang ikut perang waktu itu nggak hanya pria dewasa saja tapi wanita dan anak-anak juga. Semangat mereka yang ingin mempertahankan Bali ini bener-bener harus diacungi jempol.
Lapangan Puputan Badung yang terletak di Denpasar ini, katanya tempat para pasukan Badung melawan pasukan Hindia Belanda. Disana kalian bisa menemukan patung dan monumen yang berkaitan dengan Kerajaan Badung. Untuk kalian yang ingin hangout sekalian olahraga sama temen-temen sangat cocok untuk datang kesini. Kalau lapar? Bisa beli saja di dagang-dagang yang jualan disana. Walaupun singkat, semoga bisa menambah pengetahuan kita tentang sejarah yang ada di Bali. Jangan bosan sama sejarah!
Kali ini Mz mau ngomongin tentang berita yang menghebohkan warga Klungkung dan berhubungan sama Kulkul. Katanya ada pertanda gitu lho dibalik bunyi Kulkul yang kedengaran dari Pejenengan Puri Agung Klungkung ini. Katanya sih pertanda buruk. Akibat hal ini, banyak warga yang mengaitkannya dengan virus Covid-19. Mari kita coba bahas lebih lanjut ya.
Benda Suci yang Sangat Sakral dan Keramatdi Klungkung
“Kulkul itu apa?”
“Itu kentongan bukan sih?”
“Memang iya setua itu? Se-sakral itu?”
Sejauh ini, sudah banyak pertanyaan mengenai benda sakral di Bali ini. Jadi gini, kulkul adalah alat komunikasi yang dipakai warga Bali untuk memanggil sekaligus ajakan ke orang-orang ataupun organisasi untuk berkumpul. Bahannya dari bambu dan kayu. Iya! Namanya kentongan kalau di daerah lain, kalau di Bali ya namanya kulkul.
Untuk membuat kulkul ini juga nggak main-main. Perlu adanya hari baik atau Ala Ayuning Dewasa (baik buruknya suatu hari dalam melakukan sutau kegiatan atau aktivitas tertentu) untuk proses pembuatannya dimulai dari nyari bahan, motong kayu sampai pembentukannya pun harus melewati urutan upacara keagamaan. Para pembuat kulkul juga harus melalui tahap-tahap upacara untuk dapet dewasa yang baik dari awal sampai akhir pembuatan kulkul. Nah, kalau kulkulnya sudah jadi harus diupacarain dulu. Karena sudah melewati banyaknya upacara keagamaan ini, kulkul dianggap memiliki nilai magis dan sangat keramat sebagai benda suci umat Hindu.
Karena saking keramatnya, kulkul hanya bisa diletakkan di pura-pura besar yang ada di Bali dan dianggap sebagai wujud nyata beryadnya (persembahan atau korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas dalam ajaran agama Hindu). Jadi, kalau digunakan untuk main atau yang nggak-nggak, akan langsung dilakukan upacara penyucian untuk kulkul. Kalian bisa temuin kulkul ini di sebuah bangunan yang namanya Bale Kulkul, biasanya tergantung di sudut depan pekarangan pura atau banjar.
Hubungannya dengan Daun Pandan Berduri
Karena denger suara kulkul yang berbunyi sendiri, warga Klungkung jadi panik dan langsung mendatangi Puri. Cuma karena lagi merebaknya kasus virus Covid-19, jadinya warga dihimbau untuk nggak datang langsung ke Pejenengan Puri Agung Klungkung. Disarankan untuk melakukan nunas ica dirumah dengan sarana dan prasarana menurut keyakinan dan desa kala patra. Nah, sarana yang berkaitan itu ini menggunakan daun pandan berduri, bawang, cabai, satu buah uang kepeng atau pis bolong terus diikat dengan Benang Tridatu dan Tapak Dara yang dibuat dari kapur sirih.
“Terus hubungannya sama daun pandan berduri apa?” Ya, karena dipercaya sebagai penangkal hal-hal mistis. Selain itu juga sebagai penetralisir kekuatan negatif yang hendak masuk ke pekarangan rumah. Makanya daun pandan berduri ini erat kaitannya dengan keyakinan warga Bali bahkan dari surat edaran pun disuruh menggunakan daun pandan berduri sebagai sarana nunas ica-nya (mohon berkat).
Diduga Sebagai Pertanda Buruk
Walaupun baru diduga, banyak orang-orang yang percaya pertanda ini. “Kok gitu?” Katanya sebelum kejadian buruk terkait Bom Bali I dan Bom Bali II, terdengar suara kulkul juga berbunyi. Nggak hanya itu, sebelum Gunung Agung meletus bahkan kejadian buruk lainnya pun sebelumnya mereka mendengar suara kulkul berbunyi.
“Yakin bunyi sendiri? Siapa tahu ada orang yang iseng.”
Sudah lihat ‘kan setinggi apa Bale Kulkul itu? Yang masuk pun nggak boleh sembarang orang, cuma Raja Ida Dalem yang boleh masuk ke Bale Kulkul Pejenengan Puri Agung Klungkung. Orang biasa nggak boleh naik dan masuk ke Bale Kulkulnya. Kata temen Mz yang berasal dari Klungkung sudah lama nggak ngumpulin orang dengan bunyiin kulkul. Jadi ini sudah bisa dipastikan tidak ada unsur keisengan ataupun kesengajaan.
Karena seringnya para warga mendengar bunyi ini dan setelah itu ada kejadian buruk, makanya kalau mereka sudah denger bunyi kulkul lagi jadi panik sendiri. Mereka percaya ini adalah pertanda buruk. Karena sekarang lagi parahnya kasus virus Covid-19, orang-orang percaya bunyi kulkul ini ada kaitannya sama virus tersebut. Dengan menghaturkan bakti dan menaruh daun pandan berduri lengkap dengan tapak dara dan sarana lainnya, para warga berharap hal ini bisa dihindari dan tidak memakan korban jiwa.
Ya, semoga kita selalu di bawah lindungan-Nya. Walaupun ada pertanda tersebut, nggak ada salahnya kita untuk terus berdoa dan menghaturkan saji berupa daun pandan dan sarana lain untuk keselamatan kita secara sekala dan niskala. Akan lebih baik lagi jika dilakukan oleh seluruh warga Bali. Ada yang bilang kalau doa yang dilakukan secara bersamaan dapat membawa dampak baik yang lebih besar lagi. Jangan lupa taruh daun pandan di depan rumah ya!
Mz mau berbagi berita nih tapi sayangnya kurang mengenakkan. Gimana nggak, masa pawai ogoh-ogoh mau ditiadakan?! Sebenernya Mz kurang setuju sih tapi demi kebaikan bersama harus dilakukan. Dengar-dengar juga bukan ditiadakan tapi dibatasi pelaksanaannya, walaupun begitu semoga tetap bisa berjalan dengan baik. Menjelang Hari Raya Nyepi kali ini, kita sedang menghadapi kasus penyakit yang amat berbahaya, jadi jaga kesehatan masbrooo!
Material Pembentuk Boneka Raksasa Menyeramkan
“Boneka raksasa menyeramkan?” Yoi, itu sebutan lain buat ogoh-ogoh dari beberapa orang. Ya emang bener sih, bentuknya ‘kan kayak boneka raksasa ditambah lagi dengan perawakannya yang menyeramkan. Kata Ogoh-Ogoh sendiri diambil dari sebutan Bahasa Bali yaitu Ogah-Ogah yang artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan dan biasanya dibentuk menyerupai bhuta kala (mahkluk halus super jahat). Awalnya ogoh-ogoh dibuat dari anyaman bambu bertulang kayu tapi karena dirasa berat jadinya diganti dengan gabus dan styrofoam. Selain ringan dan murah, bahan gabus dipilih karena bisa lebih mudah dibentuk menjadi karakter-karakter raksasa yang bentuknya terbilang sulit. Selain itu, mempercepat proses pembuatan biar nggak kelamaan buatnya. Tahu nggak berapa lama buat Ogoh-ogoh? Bisa sampai berbulan-bulan!
Tapi… ada tapi-nya nih, para warga kini dihimbau oleh Dinas Kebudayaan Pemerintah Kota Denpasar untuk tidak menggunakan kedua material tersebut karena dianggap kurang ramah lingkungan, jadinya balik lagi deh dengan pembuatan menggunakan bambu.
Sejarah Pawai Ogoh-ogoh dalam Banyak Versi
Sejak tahun 1980-an, awal mulanya pengarakan ogoh-ogoh ini nggak ada hubungannya lho dengan perayaan Hari Raya Nyepi. Tapi gimana ceritanya tiba-tiba sudah ada pengarakan ogoh-ogoh kayak sekarang ini. Dengar-dengar sih, para warga di zaman itu lagi gabut makanya kepikiran buat ngarak ogoh-ogoh. Ya, buat seru-seruan saja.
Nah, versi lain bilang kalau ogoh-ogoh sudah muncul sejak tahun 1970-an. Ada juga yang bilang ogoh-ogoh diketahui sudah ada sejak jaman Dalem Balingkang. Dimana waktu itu ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara pitra yadnya (persembahan yang dilakukan kepada para roh leluhur).
Dilaksanakan Pada Petang Hari
Kenapa petang hari? Ya, kalau pagi hari namanya upacara bendera dong. Canda! Kita lanjut lagi ke pembahasan. Di Bali dipercaya saat petang hari atau jam-jam magrib itu para makhluk halus lagi berkeliaran. Nah, pas mereka keliaran dialihkan dengan ogoh-ogoh yang dimaksudkan akan ngikut. Setelah itu, akan dibawa ke Sema (kuburan Umat Hindu) dan dibakar disana. Jadi, dengan dibakarnya ogoh-ogoh biar makhluk halus yang ngikut itu nggak ganggu pada saat perayaan Hari Raya Nyepi berlangsung. Jadi, tinggal sifat bhuta kala (yang bersifat negatif dalam diri manusia) yang tertinggal.
Tanpa Penangkal Ini Ogoh-Ogoh Bisa Hidup
Percaya nggak kalau ogoh-ogoh bisa hidup? Kasus ini pernah terjadi lho di beberapa banjar di Renon, Denpasar. Padahal penangkal alias daun pandan berduri sudah ditaruh di ogoh-ogohnya dan hal itu tetap terjadi. Karena keulang terus kejadiannya, warga di banjar tersebut memutuskan untuk nggak buat ogoh-ogoh lagi. Mungkin ada energi negatif yang menarik makhlus halus buat masukin ogoh-ogoh kali ya, Mz pun nggak ngerti. Oh ya, daun pandan berdurinya bisa diikat ke badannya atau diselipin di badan ogoh-ogohnya. Pokoknya harus ada tanaman berduri yang satu ini.
Kenapa pakai daun pandan berduri? Karena dipercaya, bisa menghalau energi-energi negatif dari sekitarnya. Masyarakat Bali percaya bahwa para bhuta kala adalah makhlus halus jahat dan suka jahil. Mereka nggak akan tenang kalau nggak dapat gangguin manusia. Makanya daun pandan berduri dijadikan penangkalnya.
Yup, itu penjelasan mengenai ogoh-ogoh yang terus diadakan setiap tahunnya menjelang Hari Raya Nyepi di Bali, tepatnya saat Pengerupukan Nyepi (sehari sebelum Nyepi). Dampak Virus Corona benar-benar sangat terasa ya, akhirnya banyak tradisi dan kegiatan di Bali yang selalu dilakukan setiap tahunnya jadi terhalang. Semoga kedepannya, keadaan jauh lebih membaik!
Gelang Sangadatu apa hebatnya ya dari Tri Datu? Sama-sama hebat sih dalam jagain kamu biar selalu selamat dan rahayu. Nah, berhubung ngomongin soal gelang spiritual Bali, kamu wajib banget tahu soal makna gelang ini.
Sebelumnya Mz udah pernah bahas soal fungsi dan makna dari Gelang Tri Datu yang pastinya bikin kamu bersyukur banget memiliki gelang ini. Bedanya dengan Gelang Sangadatu terletak pada jumlah variasi warna gelangnya.
Kalau Tri Datu hanya terdapat 3 jenis warna, yaitu Merah, Hitam, dan Putih sebagai perlambangan kekuatan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Cara dapetinnya pun cukup mudah, yaitu kamu datang aja ke Pura-Pura tersohor di Bali saat Piodalan Gede atau upacara besar yang jatuh pada hari-hari sakral berdasarkan Kalender Bali.
Sedangkan Gelang Sangadatu terdapat 9 jenis warna, yaitu Merah, Hitam, Putih, Kuning, Biru, Jingga, Ungu, Hitam, dan Abu-Abu. Kesembilan warna ini melambangkan 9 Dewa penjaga mata angin, seperti Dewa Brahma, Siwa, Maheswara, Iswara, Sambhu, Wisnu, Rudra, Mahadewa, dan Sangkara.
Cara Dapetin Gelang Sangadatu
Nah cara dapetinnya gimana? Gelang ini bisa dikatakan gelang spesial, karena cara dapetinnya hanya saat piodalan di Pura Besakih. Itulah sebabnya kenapa saat piodalan di Pura Besakih, banyak banget umat Hindu di Bali atau diluar Bali rela antri untuk sembahyang dan nunas gelang ini.
Sangadatu merupakan salah satu bukti kepercayaan umat Hindu, bahwa pada saat piodalan di Besakih, konon para kesembilan Dewa tersebut turun ke Besakih untuk memberikan berkat kepada umat manusia. Makanya selama piodalan berlangsung tak heran banyak banget yang rela desak-desakan hanya demi sutas gelang.
Ternyata lebih dari itu, Mz lihat dari sudut pandang yang agak beda, kalau hal ini lebih dari sekedar nunas atau meminta gelang aja. Tetapi ini sebagai salah satu kesempatan emas bagi umat Hindu untuk meminta keselamatan hidup kepada 9 Dewa atau Dewata Nawasanga.
Sekeren Apa Sangadatu di Tangan Anak Muda?
Gelang juga sebagai salah satu aksesoris fashion anak muda dan kalau dilihat-lihat gelang ini memiliki nilai keindahan tersendiri. Jadi anak muda di Bali tidak ada yang malu menggunakan gelang ini. Mereka dengan bangganya memaerkan kepada teman-temannya yang berbeda keyakinan.
Mz juga sempet pamerin ke temen-temen Mz yang beda agama dan mereka bertanya, “Dimana dapet gelang itu bro? Aku mau juga dong”, gitu katanya. Yasudah, Mz langsung kasih tau cara dapetinnya dan mereka fine-fine aja kalau diajak ke Pura. Intinya balik lagi gimana cara kamu menyikpi dan intinya balik lagi masalah kepercayaan. Jika kamu percaya dengan pakai gelang ini meraya aman dan nyman, maka pakai aja dan jika ga nyaman ga apa-apa kalau tidak dipakai. slow aja bro…
Pura Besakih merupakan salah satu pura terbesar yang ada di Bali. Pura ini terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Bali. Kamu pernah nggak ke Besakih? Pastinya pernah dong kesana, apalagi kamu Orang Bali.
Berdasarkan info yang Mz dapet, komplek Pura Besakih terdiri dari, 1 Pura pusat, (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping. Asal kamu tahu di Pura Besakih inilah katanya tempat awal Rsi Markendeya menerima wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.
Asal kamu tau, diantara Pura-Pura di Besakih, Pura Penataran Agunglah yang menjadi Pura terbesar dengan jumlah Pelinggih paling banyak dibandingkan pura yang berada di komplek Besakih.
Di Pura Penataran Agung ini terdapat 3 Candi Utama yang menjadi simbol dari stana Dewa Tri Murti, yakni Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa ini merupakan simbol umat Hindu sebagai perlambangan Dewa Pencipta alam semesta, di mana ketiga Dewa ini sebagai Pencipta, Pemelihara, dan pelebur pastinya.
Pura ini ternyata udah masuk dalam warisan dunia UNIESCO sejak tahun 1995 dan dalam perkembangannya Pura Besakih terus mengalami peremajaan khususnya pada bangunan tanpa mengurangi makna dari Pura itu sendiri.
Pura Besakih Tahun 1972
Pura Besakih Tahun 2000-an
Sebenernya masih ada banyak lagi foto-fotonya, tapi ya bisa kamu cari sendiri lah di internet foto-fotonya. Kalau boleh Mz berpesan, kalau kamu ke Besakih tolong jaga kondisi Puranya. Sederhana aja deh, buang sampah di tempat sampah biar tetep bagus suasana Puranya. Oce?
Salah satu hal yang ditunggu saat perayaan Nyepi adalah Ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh ini sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Bali. Beraneka rupa instalasi patung berbentuk raksasa diarak keliling desa, diiringi gamelan dan sepenggal cerita, yang ditampilkan dalam bentuk tarian oleh para pemuda. Begitu sih awalnya. Namun, semakin lama, berbagai ‘kepentingan manusia’ pun mulai memasuki ranah ogoh-ogoh, yang menurut beberapa orang adalah ‘penyimpangan’ dalam budaya.
Dan kali ini, Mz bertemu beberapa pemuda yang mencoba memaparkan pendapat mereka tentang penyimpangan ini, menurut versi mereka.
Mundur jauh ke belakang dari tahun 2019, ada isu yang beredar pada saat itu, isu pembuatan jembatan penghubung Pulau Jawa dan Bali. Jujur-jujuran aja nih, Mz tau hal ini baru-baru ini. Awalnya Mz kira ini hal yang baru, tapi ternyata sudah pernah dibahas jauh sebelum tahun ini.
Kamu pikir Mz telat bahasnya? Tidak, Sobat. Isu ini, pembangunan jembatan penghubung Pulau Jawa dan Bali kembali muncul melalui akun-akun info di sosial media.
Sebelum artikel ini dibuat, Mz sempet melemparkan opini terkait hal-hal yang akan terjadi kalau jembatan ini direalisasikan. Nih, liat sendiri dah kontennya kayak gimana.
Selain fokus ke kontennya, coba deh liat reaksi para pengguna Instagram. Kebanyakan dari mereka nggak setuju sama pembangunan jembatan ini, padahal sebenernya Mz nggak ada nanya pendapat mereka sih.
Tambahan, nggak setujunya itu beralasan. Mulai dari ketakutan akan memudarnya budaya Bali, sampai dengan alasan cerita tentang Sidi Mantra dan Manik Angkeran, sosok dibalik pemisah Pulau Jawa dan Bali.
Berarti dulu Pulau Jawa dan Bali itu satu pulau ya? Atau gimana? Markitsur!(re: Mari kita telusuri)
Singkat Cerita Asal Mula Terpisahnya Pulau Jawa dan Bali
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Selain sakti Sidi Mantra adalah seorang yang berbudi pekerti luhur dan disegani oleh masyarakat karena memiliki pengetahuan agama yang luas. Sanghyang Widya atau Batara Guru memberikannya hadiah berupa harta benda dan seorang istri yang cantik. Setelah bertahun-tahun menikah, akhirnya mereka mendapat seorang anak yang bernama Manik Angkeran.
Berbeda dengan Bapaknya, Manik Angkeran ini manja, doyan judi dan metajen. Judinya nggak kecil-kecilan yang sekedar taruhan seribu-dua ribu, sampai mempertaruhkan harta keluarga, Bos! Gile bener…
Kalah banyak, hutang banyak, auto bingung si Manik Angkeran. Karena bingung nyari uangnya di mana, akhirnya Ia minta tolong sama Bapaknya. Sebagai Bapak yang baik, Sidi Mantra berusaha untuk mencari bantuan untuk melunasi hutang-hutang anaknya. Doa, puasa dilakukan Sidi Mantra sampai akhirnya Beliau mendengar suara gaib yang menyuruhnya untuk pergi ke Gunung Agung dan menemui Naga Basuki.
Pergilah Sidi Mantra ke Gunung Agung untuk menemui Naga Basuki sang penjaga harta karun di Gunung Agung. Dan bener aja, sampai di sana Sidi Mantra dibantu oleh Naga Basuki. Dengan sedikit menggeliat, harta berupa emas pun bermunculan. Kemudian harta tersebut diambil dan diberikan ke Manik Angkeran (tentunya udah disetujui sama Naga Basuki).
Hutang lunas, Manik Angkeran pun memulai lagi aksinya tanpa rasa kapok. Judi lagi, tajen lagi, kalah lagi. Hutang banyak, minta tolong orang tua lagi. Siklus yang sama kembali terjadi.
Meskipun sudah diperingatkan oleh ayahnya berkali-kali Manik Angkeran tetap saja melakukan perjudian dan bertaruh aduhan ayam. Manik Angkeran meminta bantuan Bapaknya lagi tapi Bapaknya nggak mau membantunya. Sehingga Manik Angkeran bertekad untuk mencari tahu sumber kekayaan ayahnya didapat dari mana. Kemudian ia pun bertanya-tanya kesana kemari dan beberapa temannya memberi tahunya bahwa Bapaknya mendapatkan kekayaan di Gunung Agung.
Setelah Manik Angkeran sampai di Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan genta milik Sidi Mantra. Karena merasa terpanggil Naga Basuki pun merasa terpanggil oleh suara genta tersebut. Tetapi Naga Basuki heran kenapa ia tidak mendengarkan mantra-mantra yang biasa ia dengar dari Sidi Mantra. Setelah keluar, maka bertemulah Sang Naga dengan Manik Angkeran untuk pertama kali. Melihat Manik Angkeran, Naga Basukih pun tak dapat menahan amarahnya.
Melihat kesedihan Manik Angkeran (karena akan dibunuh kalau nggak bayar hutang), Sang Naga pun merasa kasihan.
Setelah memberikan nasehat kepada Manik Angkeran, Naga Basuki pun membalikkan badannya untuk mengambil harta yang berada di dalam Bumi. Pada saat Naga Besukih membenamkan kepalanya ke dalam Bumi, Manik Angkeran melihat ekor Naga Basuki yang penuh dengan emas dan intan maka timbullah niat jahatnya untuk memotong ekor tersebut. Sesegera mungkin Manik Angkeran mengeluarkan keris yang ia bawa dan memotong ekor Naga Basuki dengan satu kali tebasan. Naga Basuki menggeliat dan segera membalikkan badannya. Namun Manik angkeran telah pergi menjauhinya.
Naga Basuki pergi mencari Manik Angkeran ke segala penjuru tetapi ia nggak menemukannya juga. Naga Basuki cuma menemukan bekas telapak kaki Manik Angkeran. Maka dari itu dengan kesaktiannya Naga Basuki membakar bekas telapak kaki Manik Angkeran. Meskipun Manik Angkeran jauh, dengan kesaktian Naga Basuki, Manik Angkean dapat merasakan panasnya api Naga Basuki sehingga Manik Angkeran terjatuh dan lama-kelamaan menjadi abu.
Di Jawa timur Sidi Mantra merasa gelisah. Ia cemas karena anaknya telah menghilang dan masih belum kembali ke rumah. Sidi Mantra juga kehilangan genta yang biasa ia gunakan untuk pemujaan. Tetapi Sidi Mantra mengetahui bahwa anaknya yang telah mengambil genta pemujaannya.
Sidi Mantra merasa anaknya pergi ke Gunung Agung untuk meminta bantuan Naga Basuki. Maka dari itu Sidi mantra berangkat menuju Gunung Agung untuk mencari Manik Angkeran. Sesampainya di Gunung Agung, ia melihat Naga Basuki yang berada di luar persembunyiannya.
Bertanyalah Sidi Mantra kepada Sang Naga Basuki dimanakah anaknya berada. Naga Basuki pun menjawab bahwa Manik Angkeran telah menjadi abu dan sudah meninggal. Sidi Mantra memohon kepada Naga Basuki supaya anaknya dihidupkan lagi. Naga Basuki menyanggupi permohonan Sidi Mantra tetapi dengan satu syarat Sidi Mantra harus mengembalikan ekor Naga Basuki seperti semula. Dengan kesaktiannya Sidi Manta pun mampu mengembalikan ekor Naga Basuki seperti semula.
Setelah itu Naga Besukih menghidupkan kembali Manik Angkeran. Sebab hal itulah Manik Angkeran sadar dan meminta maaf kepada Bapaknya serta ia berjanji nggak akan mengulangi perilaku buruknya lagi. Manik angkeran juga meminta maaf kepada Naga Basuki. Nggak lupa Sidi Mantra berterima kasih kepada Naga Basuki karena telah menghidupkan kembali Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkran telah berubah, Sidi mantra menyuruh Manik Angkeran untuk tetap tinggal di sekitar Gunung Agung. Manik Angkeran pun menuruti perintah ayahnya itu. Kemudian Sidi Mantra pulang ke jawa Timur.
Sesampainya di Tanah benteng, Sidi Mantra menorehkan tongkatnya ke tanah untuk membuat garis yang memisahkan dirinya dengan Manik Angkeran. Saat itu juga bekas torehan tongkatnya menjadi lebar dan bertambah luas sehingga air laut naik menggenanginya. Genangan air laut itu terus melebar dan lama-kelamaan menjadi sebuah selat. Selat tersebutlah yang sekarang ini diberi nama “SELAT BALI”, yaitu selat yang memisahkan Pulau Jawa dengan Bali.
Mih, panjang li ceritanya nok. Akhirnya tahu juga asal mula pisahnya Pulau Jawa dan Bali.