Ngomong-ngomong tentang tarian Bali yang diakui UNESCO, Mz mau membahas sejarah dan tujuan dari adanya Tari Topeng Sidakarya. Jadi salah satu tari tersakral di Bali, tari ini punya sejarah yang cukup unik lho. Mari kita simak bersama saja, check it out!
Sejarahnya yang Harus Kalian Tahu!
Oke, kita awali dengan sejarahnya dulu. Ini semua bermula di abad ke-16 dimana raja yang memimpin saat itu di Kerajaan Gelgel ialah Raja Dalem Waturenggong. Raja Gelgel Klungkung ini dikenal sangat mengayomi masyarakatnya.
Kala itu, raja sedang berada di Pura Besakih guna mempersiapkan upacara Eka Dasa Rudra (dilaksanakan setiap 100 tahun sekali). Ketika dirinya tengah berada di pura terbesar ini, datanglah seorang brahmana/pendeta dari Keling, Jawa Timur ke Istana Gelgel. Karena berasal dari daerah tersebut, maka brahmana ini dipanggil Brahmana Keling.
Karena yang lain lagi sibuk di Pura Besakih termasuk raja, alhasil kedatangannya hanya disambut oleh pemuka masyarakat yang ada di istana. Setelah berbincang-bincang sebentar, Brahmana Keling pun disarankan untuk langsung menemui raja di Pura Besakih. Ketika dirinya sudah sampai, bertemulah ia dengan para masyarakat yang ada disana. Dengan sopan, ia meminta dipertemukan dengan Raja Dalem Waturenggong serta penasihatnya yakni Dang Hyang Nirartha. Tapi ia mengatakan raja adalah saudaranya, sedangkan yang bikin masyarakat ragu adalah pakaiannya yang lusuh dan compang-camping. Yakali saudara raja kayak gitu ‘kan? Seenggaknya pakaian rapi terus wajahnya juga bersih. Nah ini nggak mencerminkan saudara raja sama sekali. Tapi namanya juga telah melewati perjalanan yang sangat jauh, nggak heran keadaannya begitu saat itu.
Di tengah keraguan masyarakat, raja serta penasihatnya pun tetap dipanggil. Karena ia datang dari tempat yang sangat jauh, dirinya pun menyempatkan diri untuk beristirahat di tempat suci yang bernama Pelinggih Surya Candra. Ya, benar saja. Raja tidak mengenalinya bahkan sampai marah karena dikatakan bersaudara dengan orang yang lebih mirip pengemis. Dengan gaduh, para prajurit serta masyarakat mengusirnya dari sana dan tak mengakui perkataannya.
Tersinggung diperlakukan seperti itu, Brahmana Keling pun mengatakan upacara yang akan berlangsung itu tidak akan sukses. Yang ada hanya kekeringan, serangan hama hingga wabah penyakit yang mematikan. Ia pun berlalu, meninggalkan masyarakat Kerajaan Gelgel dengan perasaan kecewa. Nggak berselang lama, ucapannya yang mengutuk itu benar-benar terjadi. Kekeringan dimana-dimana, pertanian gagal, bunga-bunga layu hingga wabah penyakit yang membuat masyarakat satu per satu jatuh sakit. Melihat kejadian ini, raja berpikir upacara yang tengah dilaksanakannya ini tak akan berhasil menghilangkan kutukan tersebut.
Dengan perasaan yang kalut, raja berniat mencari pencerahan dengan bersemedi di Pura Besakih. Dari sana ia tahu kalau tindakannya mengusir Brahmana Keling tak elok dilakukan dan hanya dia satu-satunya jawaban akan kemalangan yang tengah menimpa masyarakatnya. Setelah berdiskusi dengan bawahannya, raja mengutus rombongannya untuk pergi ke Badanda Negara (Desa Sidakarya). Singkat cerita, mereka berhasil bertemu dengan Brahmana Keling, menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya serta memohon dihilangkan kutukan yang sudah diucapkannya. Brahmana Keling pun mempersilahkan rombongan tersebut untuk pergi lebih dulu. Sesuai perintah raja, ia sampai di Istana Gelgel dilanjutkan ke Pura Besakih dengan cepat. Sampai sekarang, nggak ada yang tahu bagaimana caranya ia bisa sampai secepat itu di hadapan raja bersama rombongan yang lain.
Di saat inilah dirinya baru disambut dengan meriah. Kegaduhan yang sangat baik gitu. Ketika kembali bertemu dengan raja, Brahmana Keling menyampaikan dirinya sanggup mengembalikan keadaan Pulau Bali yang baik seperti sedia kala. Dang Hyang Nirartha hingga masyarakat pun menjadi saksi. Dengan tangan kosong, Brahmana Keling mengembalikan keadaan Bali dengan kekuatan batinnya. Seperti sihir, Pulau Bali pun kembali bercahaya dengan senyuman dari masyarakatnya dan alamnya yang indah. Bunga-bunga bermekaran menyambut momen bahagia ini.
Raja Dalem Waturenggong pun mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya. Sang brahmana diberi gelar Dalem Sidakarya. Kemudian, agenda dilanjutkan dengan pembuatan pediksan dengan sebagaimana halnya. Sang raja yang kegirangan pun berujar seluruh umat Hindu wajib nunas (minta) tirta Penyida Karya yang ada di Pesraman Dalem Sidakarya. Terus wajib juga mempertunjukkan Tari Topeng Sidakarya.
Tujuan Dilaksanakannya Tari Topeng Sidakarya
Sudah pasti tari ini dilaksanakan guna menghormati ujaran sang raja serta saudaranya, Brahmana Keling. Tak hanya itu, ia juga berjasa akan kesanggupannya mengembalikan kesejahteraan masyarakat Bali saat itu. Tarian ini pun menjadi tari wali upacara yadnya yang besar di Bali. Maksudnya sebagai pelancar jalannya yadnya gitu. Salah satunya pada Eka Dasa Rudra di Pura Besakih, Karangasem maupun ngaben.
Sekarang sudah paham ‘kan kenapa tarian ini dianggap sangat sakral? Apalagi sekarang tarian ini diakui UNESCO dan masuk ke Warisan Budaya Tak Benda. Sebagai warga Bali dan Indonesia, kita patut bangga akan budaya kita yang sudah diakui dunia.