Buat semeton Bali pasti sudah nggak asing lagi sama berita yang satu ini. Sampai-sampai media asing juga heran, tapi masa sih Bali kebal virus corona? Kira-kira apa ya yang bikin Bali jadi kelihatan kayak gitu?

Masang Daun Pandan Berduri di Depan Rumah
Masih ingat nggak dengan kejadian bunyi kulkul misterius dari Pajenengan Puri Agung Klungkung? Gara-gara itu, kita diwajibkan untuk memasang daun pandan berduri di depan rumah.
Katanya, bunyi kulkul kemarin itu menandakan akan ada kejadian buruk. Ya, pasti paniklah semeton Bali, memang siapa sih yang mau ketimpa musibah? Demi nangkal hal-hal negatif sekaligus nunas ica (mohon berkat), pemerintah Klungkung nyuruh masang daun pandan yang digabungin sama 3 bawang, 3 cabe, satu buah uang kepeng (pis bolong) abis itu diikat deh pakek Benang Tridatu. Oh ya, sama Tapak Dara (dibuat dari kapur sirih) juga. Setelah itu ditaruh di depan rumah.
Ngaturin Nasi Wong-wongan
Nggak hanya daun pandan, pemerintah juga menghimbau untuk menghaturkan nasi wong-wongan di depan rumah. Warnanya juga ngikutin yang sudah ditentukan, kalau dari selebarannya sih harus bentuk orang dan berwarna warni.
Jadi, kepalanya warna putih, lengan kanannya warna merah terus yang kiri warna kuning, badannya manca warna dan kakinya warna hitam. Manca warna itu gabungan dari keempat warna tadi (putih, merah, kuning dan hitam). Dibilang manca warna karena ‘kan empat warna tadi digabungkan untuk mendapatkan warna yang kelima.

Nah, kalau itu ‘kan yang dihaturkan di depan rumah, kalau di Merajan dapat menghaturkan banten pejati dan nyuh gadang (kelapa hijau) atau gading (kuning). Bentuknya sengaja dibuat mirip kayak ‘orang’ dan sebagai simbol manusia terhindar dari bahaya.
Jadi, kalau ada upacara yang menggunakan nasi wong-wongan ini namanya nangluk mrana. Tujuan upacaranya untuk menangkal gangguan-gangguan seperti penyakit pada tanaman, hewan dan pastinya manusia. Kalau yang sekarang harusnya tahu lah ya, apalagi kalau bukan menangkal pandemi covid-19.
Saran ‘Nunas Ica’ dari Bapak Gubernur
Melihat hal ini, Gubernur Koster punya cara lain yang dirasa bisa membantu mengamankan Bali yakni dengan nyējēr daksina.
“Hah? Daksina apa ya?”
“Nyējēr apa sih?”
Daksina itu semacam banten yang ditanding (dibuat) dan bentuknya seperti silinder. Wadahnya itu namanya wakul daksina yang terbuat dari selepan (daun kelapa tua), makanya warnanya hijau tua pekat-pekat gimana gitu.
Kalau nyējēr artinya meletakkan sesuatu dan didiamkan dalam waktu yang sangat lama. Jadi nyejer daksina itu, ya naruh daksina di rong tiga (kemulan) setiap hari. Jadi nggak boleh diturunkan dalam waktu yang lama.

“Tapi gimana kalau-“ Nggak ada tapi-tapi!
Daksina itu diibaratkan sebagai kursi atau tempat duduknya Ida Bhatara. Kalau rong tiga-nya? Dianalogikan sebagai bangunannya.
“Emang Tuhan butuh kursi?”
Ya, ini ‘kan cuman ibaratnya. Rong tiga biasanya ada di bangunan (lagi dihuni) yang ada di Bali, coba deh bayangin kalau tamu mau dateng sudah pasti dipersilahkan duduk ‘kan, terus mau duduk dimana coba kalau nggak ada tempat duduknya? Jadi, daksina itu memang harus nyējēr setiap hari.
Sembahyang Bersama Sebagai Penangkal Virus Corona

Ada yang bilang kekuatan doa bersama itu akan lebih manjur. Kayaknya bener sih, apalagi doanya yang baik-baik. Sebelum situasi pandemi Covid-19 separah sekarang, masyarakat Hindu yang ada di Bali sudah melakukan persembahyangan bersama. Selain menghaturkan tiga hal yang sudah Mz bahas tadi, persembahyangan bersama pun juga turut dilakukan. Hal ini tentunya bertujuan untuk memohon keselamatan.

Cuma kalau sekarang, boleh-boleh saja kok sembahyang bersama tapi dibatasi jumlah orang yang masuk ke pura. Misalnya 20 sampai 25 orang dan harus melakukan social distancing juga. Sembahyang bersama di rumah pun juga bisa dilakukan.
Sekian dari Mz ya. Semoga ada jawaban dari pertanyaan yang lagi viral terkait virus corona ini. Jangan lupa sehat!